Cerita Rakyat Sekadau : Asal Mula Danau Engkaluk di Desa Seraras


BujangAdau - Semilir angin masih terasa menusuk kedalam tulang, derai embun yang pekat perlahan menipis disertai munculnya sang fajar yang perlahan mulai meninggi dengan iringan kicauan burung yang datang bersautan. Dahulu kala, tersebutlah sebuah kampung bernama Sanong, kampung ini dihuni penduduk yang hidup damai, disana pula dipercayai menyimpan kekayaan alam yang tidak ternilai harganya.

Suatu hari, datanglah para penjelajah nusantara berkebangsaan Vietnam dan Cina di desa Sanong. Mereka amatlah cerdas dan baik hati sehingga diterima dengan baik oleh penduduk sekitar. Karena tidak ingin mengganggu dan merepotkan penduduk, merekapun memilih mendirikan gubuk untuk tinggal di daerah yang cukup gersang namun terkenal memiliki kandungan emas yang tinggi di dalamnya.

Para pendatang ini berjumlah lima orang, tubuhnya tinggi besar dan  perkasa. Mereka juga amat ramah, setiap hari mereka selalu menghabiskan waktu luang dengan bercengkerama bersama penduduk. Banyak ilmu dibagikannya, terutama tentang pertanian, peternakan serta perikanan. Mereka sangat ahli dalam hal perikanan karena sudah bertahun-tahun menyebrangi lautan dan danau dalam misi penjelajahan nya tersebut.

Untuk menunjang kehidupannya seperti layaknya manusia yang lain tentulah perlu air, oleh karena itu dengan semangat membara kemudian mereka pun membuat sebuah bendungan yang cukup luas, bendungan itupun diberi nama Danau Engkaluk.

Pada suatu hari, datanglah segerombolan orang yang berasal dari sebuah suku di Sepauk yang bertepatan dengan musim ngayau. Ngayau merupakan sebuah pembuktian dari keperkasaan seorang laki-laki dari sebuah suku untuk membawa kepala manusia untuk dijadikan tumbal. Mereka datang dengan maksud hendak ngayau di Desa Sanong tersebut.

Sampai di Danau Engkaluk, gerombolan orang tersebut memaksa orang-orang Cina dan Vietnam untuk mengantarkan mereka hingga sampai ke seberang. Namun, menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari orang yang baru ditemui nya membuat kelima orang ini berang. Mereka pun enggan mengindahkan perintah dari suku tersebut dan memilih untuk melanjutkan pekerjaan.

Melihat permintaannya tak di turuti, ketua dari suku tersebut pun semakin beringas. Di perintahkanlah rombongan yang ia bawa untuk menghajar mereka sehingga perkelahian pun tak dapat di elakkan. Nasib mujur tak dapat di raih, karena perlawanan yang tidaklah seimbang menyebabkan kekalahan bagi suku Cina dan Vietnam tersebut. Bahkan empat orang dari mereka berhasil dipenggal kepala nya dan mati secara mengenaskan, sedangkan seorang lagi berhasil bersembunyi dan mengamankan diri sehingga dapat selamat dari maut.

Di rasa tak perlu menyeberang lagi, suku dari Sepauk pun pulang ke daerah asalnya. Diiringi rasa puas dan bangga diri mereka berbahagia pulang dengan menenteng empat kepala yang berhasil di kayau nya.

Langit serasa mendung, awan hitam menggumpal dibarengi tetesan tipis air dari atas. Semesta sepertinya tahu bahwa sedang ada yang di rundung kesedihan. Kini hanya seorang suku dari Vietnam yang tersisa. Tetas darah dan penyesalan berbaur menjadi satu. Ia gundah memikirkan nasib keempat kawannya yang telah tewas dipenggal kepalanya.

Setelah dirasa aman, ia pun keluar dari persembunyiannya. Ia lalu menemui penduduk kampung Sanong yang mayoritas adalah suku Ketungau. Mendengar penjelasan dari si orang Vietnam, merekapun marah dan bergegas membalas dendam. Di kumpulkannya penduduk laki-laki dengan senjata nya masing-masing dan kemudian mereka pun berangkat untuk membalas dendam suku dari Sepauk yang masih dalam perjalanan pulang.

Di sebuah lembah mereka bertemu hingga terjadilah pertempuran sengit. Sekuat tenaga dikeluarkan oleh masing-masing suku yang bertanding untuk membuktikan kekuatannya. Serangan demi serangan bolak balik di lontarkan yang berakhir dengan tewasnya seluruh orang dari suku yang berasal dari Sepauk tersebut.

Penduduk kampung Sanong pun pulang. Diberikannya penghormatan terakhir untuk orang-orang dari Cina dan Vietnam yang tewas di kayau tadi. Dilaksanakannya ritual dan upacara kematian diiringi doa dari seluruh penduduk kampung yang lain. Selanjutnya, seorang berkebangsaan Vietnam yang masih hidup pun kembali ke negaranya.

Tahun demi tahun berlalu, sepeninggalan lima orang tadi, kini kawasan sekitar Danau Engkaluk amat rimbun tak terawat. Banyak semak belukar tumbuh subur di sekitarnya. Hanya tersisa hamparan pasir yang luas dan jernih nya air danau dengan keheningan bak tanpa kehidupan manusia di sekelilingnya.
Hingga suatu masa, datanglah orang-orang dari berkebangsaan Inggris yang datang hendak membuka lahan untuk menanam tanaman karet disana. Pada masa itu, nama kampung Sanong sudah berubah menjadi Seraras. Menurut cerita, arti kata Seraras ialah selurus-lurusnya. 

Untuk mendapatkan simpati rakyat, bangsa Inggris punya trik tersendiri. Diangkatnya seorang mandor dari kampung tersebut untuk dipercayakan mengurus kebun karet miliknya yang berada di pesisir danau Engkaluk. Banyak pula penduduk yang turut diperkerjakan sehingga mereka mau menerima keberadaan orang-orang Inggris tersebut disana.

Sepeninggalan Inggris datanglah Belanda. Belanda datang ke Seraras karena mengetahui kekayaan yang ada di sana. Mereka juga tinggal di sekitar danau Engkaluk serta menambang emas di hamparan pasir yang ada di sekitarnya. Namun sayang, terdapat bagian danau yang dirubah bentuk dan di bongkar oleh Belanda dengan alasan di dalam danau tersebut terdapat buaya yang dapat membahayakan. Hal ini menyebabkan jumlah air menjadi surut dan kemudian mengering.


Setelah ratusan tahun berlalu, banyak pula hal yang berubah. Danau ini telah terisi air kembali sehingga tidak lagi mengering. Hingga kini danau Engkaluk masih dapat di lihat dan di nikmati keberadaannya sebagai bukti sejarah masa lalu yang sudah seharusnya kita ketahui.

Tidak ada komentar