BujangAdau - Konon,
pada zaman dahulu terdapatlah suatu perkampungan yang aman dan damai,
masyarakatnya hidup rukun dan saling tolong menolong, satu sama lain antar
penduduk memiliki rasa kekeluargaan yang erat serta masyarakatnya masih sering
bergotong royong. Kampung ini mayoritas penduduknya adalah masyarakat suku Dayak, kampung tersebut berada di muara sungai Sekadau.
Kampung ini adalah kampung yang yang damai, karena terletak
di muara Sungai Sekadau, tidak heran jika banyak masyarakatnya yang
menggantungkan mata pencahariannya sebagai nelayan. Namun tidaklah sebatas
menjadi nelayan, penduduk lain juga berladang dan sebagian lagi menorah getah.
Kampung tersebut dipimpin oleh seorang raja yang maha
berkuasa. Setiap titah yang ia perintahkan pasti dilaksanakan oleh rakyat-rakyatnya.
Raja ini sangatlah hidup dengan mewah karena kekayaan yang ia miliki. Sang raja
tinggal di rumah betang panjang bersama putri dan para prajuritnya.
Di kampung, tersebutlah pula seorang nenek tua miskin yang
tinggal berdua dengan cucunya. Mereka tinggal di rumah tua yang amat
sederhana dan sudah reot dimakan usia. Atapnya dari anyaman daun ilalang dan
letak rumahnya di pinggiran kampung.
Hari demi hari berlalu, sang putri raja juga semakin
bertumbuh besar. Datanglah seseorang yang meminta nya kepada sang raja untuk
meminang. Sang raja pun turut berbahagia. Dengan penuh rasa suka cita sang raja
memerintahkan kepada para pengikutnya untuk membuatkan pesta perkawinan yang
meriah untuk putrinya.
Tibalah hari pernikahan sang putri raja, untuk memeriahkan
pesta diundanglah para pembesar kerajaan dari berbagai daerah untuk menyaksikan
pernikahan sang putri. Para penduduk kampung beserta para tamu undangan
berpesta pora menikmati suasana pesta. Mereka bersuka cita dan berbahagia
bersama merayakan pernikahan sang putri raja yang tengah di selenggarakan.
Dalam pesta, para penduduk dan para pembesar kerajaan yang
datang di hidangkan makanan dan minuman yang enak dan lezat. Bahan-bahan
makanan yang dimasak juga merupakan bahan-bahan terbaik yang diperoleh dari
rakyat sang raja. Jumlah makanan yang tersedia juga sangatlah banyak sehingga
mencukupi seluruh tamu undangan yang hadir. Penduduk dan para pembesar kerajaan
yang yang hadir sudah barang tentu merasa senang dengan adanya
hidangan-hidangan lezat yang tersaji di dalam pesta ini.
Mendegar adanya pesta besar di kampungnya, sang cucu dari
nenek tua miskin pun meminta izin kepada neneknya untuk pergi ke rumah betang
panjang tempat pesta pernikahan sang putri raja digelar. Sang nenek pun
mengijinkan cucunya untuk pergi menyaksikan acara tersebut.
“Pergilah cucuku, hati-hati di
jalan. Jangan berbuat gaduh di sana” Ungkap sang nenek miskin tersebut.
Dengan pakaian compang camping dan serba lusuh, sang cucu
pun dengan riang berlari beranjak menuju tempat pesta guna menyaksikan acara
besar pernikahan sang putri di rumah betang panjang tersebut. Ia pun ikut
menonton dan menyaksikan prosesi demi prosesi pernikahan sang putri dengan
antusiasnya.
Melihat banyaknya makanan lezat yang tersaji, sang cucu pun
merasa ingin untuk memakannya pula, namun ia tidak berani mengambil makanan
yang tersaji tersebut. Tak lama setelah nya, dipanggillah ia oleh seseorang
yang tidak lain adalah seorang nelayan yang juga datang untuk menikmati pesta
pernikahan sang putri.
“Apakah kau ingin makanan-makanan
lezat itu” Kata nelayan
“Iya” Jawab sang cucu
“Ini ,ambillah bungkusan ini dan
lekaslah kau bawa pulang” Kata nelayan lagi.
Mendapat bungkusan makanan dari daun pempan yang diberikan
oleh sang nelayan, sang cucu pun amat senang. Dengan penuh semangat dan bersuka
ria ia pun berlari menemui sang nenek di rumahnya yang telah reot itu. Di carinya
sang nenek untuk mewartakan bahwa ia telah diberi sebungkus makanan oleh
seorang nelayan dari pesta pernikahan yang ia saksikan.
Karena sudah sangat lapar, tanpa berpikir panjang ia pun
langsung membuka bungkusan tersebut dan melahapnya. Sesuap-demi sesuap ia
kunyah makanan tersebut di mulutnya. Namun betapa terherannya ia ketika hendak
menyantap daging dalam bungkusan tersebut, ternyata sangatlah sulit untuk di
kunyah. Di gigitnya tidak putus, di kunyah pun tidaklah hancur. Saking herannya ia, bergegaslah ia bertanya
kepada neneknya yang berada di dalam rumah tersebut.
“Nek, lauk apakah ini, kenapa tidaklah bisa untuk di gigit? Apakah daging ini belum matang dimasak?” Tanya sang cucu.
“Biarkan nenek melihatnya cu… Ya
Tuhan, teganya meraka kepada mu. Ini bukanlah potongan daging seperti yang
engkau bayangkan cu, melainkan ini adalah endapan karet lateks yang telah
dicetak dalam tempurung kelapa seperti yang biasa nenek toreh di ladang”
Jawabnya .
Karena sangat kesal karena merasa telah di tipu dan di hina
dengan diberi makanan yang tidak layak dimakan tersebut, sang nenek pun marah
dan berjanji kepada cucunya untuk membalaskan sakit hatinya tersebut.
Diambilnya seekor anak anjing yang ia temui, dihiasnya anak
anjing tersebut dengan diberi pakaian yang lucu beserta diberinya pula ikat
kepala. Kemudian pergilah sang nenek tersebut dengan membawa anak anjing yang
telah dihias tersebut menuju tempat pesta di rumah betang panjang.
Karena pesta tersebut teruslah berjalan selama tiga hari
tiga malam berturut-turut, maka masih banyak orang-orang yang masih menyanyi
dan menari menikmati suasana pesta. Melihat keramayan tersebut, sang nenek
langsung melancarkan aksi balas dendamnya. Anak anjing yang ia bawa lalu
kemudian ia lemparkan ke tengah-tengah penduduk yang berpesta.
Melihat adanya hal yang aneh karena adanya anak anjing yang dihias berlari-lari sambil berjingkrak-jingkrak, mereka pun tertawa terbahak-bahak menertawai anak anjing tersebut. Menurut kepercayaan dan tradisi turun temurun masyarakat kampung zaman dahulu, tidaklah boleh menertawakan binatang apapun walaupun bentuknya aneh. Hal tersebut merupakan pamali yang mereka percayai sejak nenek moyang mereka dahulu.
Melihat adanya hal yang aneh karena adanya anak anjing yang dihias berlari-lari sambil berjingkrak-jingkrak, mereka pun tertawa terbahak-bahak menertawai anak anjing tersebut. Menurut kepercayaan dan tradisi turun temurun masyarakat kampung zaman dahulu, tidaklah boleh menertawakan binatang apapun walaupun bentuknya aneh. Hal tersebut merupakan pamali yang mereka percayai sejak nenek moyang mereka dahulu.
Setelah melancarkan aksi balas dendamnya, sang nenek lantas
berburu-buru pulang menemui cucunya di rumah. Di ajaknya cucunya berkemas dan bergegas meninggalkan kampung tersebut sebab ia tahu bahwa tak lama lagi alam
akan murka karena penduduk telah melanggar pamali yang telah ada sejak dahulu.
Tak lama kemudian, langit tampak gelap, kilat dan petir
bersautan sambar menyambar kampung tersebut. Di sertai hujan dan badai besar
sebuah petir yang berkilau menyambar rumah betang panjang tempat penduduk
tengah berpesta. Sontak saja rumah betang panjang beserta seluruh penduduk
kampung berubah menjadi batu dan hingga kini batu tersebut dinamakan dengan
Batu Kenyalau.
cerita nya bagus, ayo mana cerita yang lain jadi penasaran sama cerita rakyat sekadau lainnya
BalasHapusSiap mbak
Hapusagik nyangkak em bala cerita tih..pena timul..
BalasHapuskolak ia timul bang e, tunggu yak hahha
HapusTerima kasih
BalasHapusCeritanya menarik saya ingin membeli bukunya. Di mana saya bisa membelinya?
BalasHapusHalo, naskah sedang diedit. Mohon doanya agar segera dapat dicetak menjadi buku. terima kasih
Hapus