Cerita Rakyat Sekadau : Asal Mula Kampung Moncal di Nanga Mahap


BujangAdau - Hari masih gelap, namun ayam jantan dengan gagahnya telah bertengger sambil mengepakkan kedua sayap dan kemudian berkokok sekeras-kerasnya untuk membangunkan penduduk desa yang masih bersembunyi di balik selimutnya. Diiringi kabut pagi dan rintik hujan yang perlahan menetes membuat hawa dingin merasuk hingga enggan rasanya untuk lekas terjaga pagi itu.

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang gadis yang amat cantik. Berkulit putih dan tinggi semampai dengan rambut panjang sebahu yang selalu terurai. Senyumnya amat manis karena dihiasi lesung pipi yang membuat siapapun yang melihatnya pasti akan langsung terpana. Gadis ini tinggal bersama ayah dan ibunya di sebuah kampung bernama Kepayang.

Karena kecantikannya, banyak lelaki yang datang berkunjung kerumah nya dengan niat hendak meminang. Namun, setiap pinangan yang datang selalu di tolaknya karena sang gadis cantik ini memiliki syarat tersendiri bagi seorang pria yang kelak akan dijadikan suaminya.

            “Sudah banyak perjaka yang datang hendak meminang, tapi semua engkau tolak. Lantas kapan ayahanda mu ini akan menggendong cucu?,” tanya sang ayah pada anak gadisnya.

            “Aku belum berniat menikah, ayah” jawabnya lirih.

            “Tapi usiamu terus bertambah, dara-dara lain seusiamu sudah banyak yang dipinang. Apakah engkau lupa anakku bahwa semua teman-temanmu juga satu persatu telah memiliki anak sekarang,” ujar sang ibu menimpali.

            “Baiklah ayah, ibu. Aku akan bersuami asalkan ada seorang pria yang tampan dan berkulit putih berbadan besar dan tinggi yang datang meminangku. Aku akan menerima pinangannya jika aku menyukainya pada pandangan yang pertama,” balasnya mengajukan syarat.

            “Semoga Jubata[1] mendengar permohonan mu,” ungkap ibu lagi.

Saat itu juga, tampaknya Tuhan langsung mendengar harapan sang gadis. Tak lama berselang usai sang gadis mengakhiri ucapannya. Tiba-tiba langit berubah menjadi gelap, angin besar datang silih berganti dari segala penjuru menggoyahkan tegaknya pepohonan di sekitar rumah. Di selinggi suara petir yang menggelegar bersaut-sautan dan puncaknya sebuah petir yang menyambar betung[2] hingga tumbang dan porak-poranda.

Bersamaan dengan tumbangnya rumpun bambu yang terletak di depan rumah mereka, tiba-tiba muncul seorang pemuda tepat dimana petir menyambar tadi. Rupanya amat menawan, badannya kekar dan juga tinggi. Kulitnya putih bersih dan berkumis tipis yang membuatnya semakin manis.

            “Siapakah engkau, dari mana asalmu, apa gerangan maksud mu datang kemari?,” tanya sang gadis bertubi-tubi.

            “Aku dikirim Jubata untuk datang kemari untuk meminang mu, bolehkan aku bermalam di rumah mu sebab aku tak tau harus pergi kemana lagi setelah ini,” jawab sang pria.

            “Masuklah, pintu rumah ku terbuka lebar untuk mu” ujar sang gadis lagi.

Pria tadi pun lantas masuk kerumah sang gadis, ia di sambut hangat oleh keluarga sang gadis dan di jamu dengan amat baik. Sang gadis pun rupanya langsung menyukai pria tersebut. Malam itu juga, si gadis cantik ini langsung dilamar dan diterima nya pula lamaran tersebut dengan hati yang berbunga-bunga. Tak lama kemudian, diadakanlah upacara perkawinan dan mereka resmi menjadi sebuah keluarga.

Setelah cukup lama membina bahtera rumah tangga, akhirnya merekapun di karuniai dua orang anak. Anak-anak mereka amat lucu dan menggemaskan, kulitnya juga putih dan bersih menurun dari ayah dan ibu nya.

Pada suatu hari, musim panen tiba. Merekapun pergi ke ladang dan anak-anaknya dititipkan kepada sang nenek di rumah. Ketika menjelang sore hari, sang nenek yang hendak memasak sibuk membersihkan beras. Namun, alangkah terganggu nya si nenek ketika cucu-cucunya merengek minta makan. Karena merasa sibuk dan pekerjaannya belum selesai, sang nenek pun tidak memberi cucu-cucunya makan dan terus melanjutkan pekerjaannya. Karena marah akan perlauan nenek nya, kedua anak itu lalu berubah menjadi cacing dan bersembunyi ke dalam bakul.

Setelah selesai membersihkan beras, sang nenek lalu mencari cucu-cucu nya. Di carinya kesana-kemari namun tidak juga ditemukannya. Akhirnya sang nenek menemukan kedua cucunya yang telah mengubah diri menjadi cacing tengah bersembunyi di dalam bakul.

            “Dasar anak-anak tidak bisa bersabar, aku hanya menyuruh kalian menunggu. Tapi kenapa kalian malah mengubah diri seperti ini dan bersembunyi ke dalam bakul,” bentak sang nenek geram.
Sang nenek yang terlanjur marah lalu mengambil bakul yang di dalamnya berisi kedua cucunya lalu membuangnya ke tanah. Kemudian, kedua anak yang telah berubah menjadi cacing tersebutpun masuk ke dalam tanah hingga sulit untuk ditemukan lagi.

Matahari hendak kembali ke peraduan, cahayanya perlahan mulai menghilang di susul gelap yang menandakan bahwa malam telah datang. Sepasang suami istri pun pulang dari ladang. Sesampainya di rumah, dicarilah kedua anak nya yang tadi dititipkan kepada sang nenek.

            “Dimanakah keberadaan kedua anak ku, ibu?. Ungkapnya sambil menuang air putih dari teko.

      “Mereka sudah ku buang kedalam tanah, mereka telah berubah menjadi cacing karena kenakalannya,” jawab sang nenek ketus. 

Mendengar jawaban tersebut, merekapun marah dan pergi meninggalkan nenek itu seorang diri. Diiringi rasa kecewa, mereka berdoa kepada Jubata agar memberikan hukuman kepada nenek tersebut karena telah membuang anak mereka ke tanah. Seketika itu pula, langit menghitam dan guntur bersaut-sautan. Tiba-tiba petir menyambar rumah tempat si nenek berada yang menyebabkan rumah tersebut terbakar dan nenek itupun tewas seketika.

Dalam perjalannya mencari tempat bermukim baru, sepasang suami ini berangkat dari Nanga Kepayang menuju Kabur. Selanjutnya mereka meneruskan berjalanan menuju Kojang Hilir dan kembali beristirahat di Perundak (Nanga Sungai Tapang Parut). Terakhir, ketika sampai di Sungai Tubahk mereka kembali beristirahat. Di lihat-lihatnya daerah Sungai Tubakh ini dan dirasa cocok untuk dijadikan tempat bermukim. Merekapun mendirikan sebuah kampung baru yang diberi nama Moncal.

Saat ini, kampung Moncal telah berubah nama menjadi kampung Kojang Tengah yang berada di Desa Landau Apin, Kecamatan Nanga Mahap Kabupaten Sekadau. Konon, kita masih dapat menemukan kuburan-kuburan dan peninggalan-peninggalan lain dari kampung Moncal di tempat ini.

Sumber :
Bapak Irwan (Guru)



[1] Jubata (Tuhan)
[2] Betung adalah sebutan lain untuk pohon bambu

2 komentar