Cerita Rakyat Sekadau : Asal Usul Lubang Emas di Sekadau Hulu


BujangAdau - Langit masih berkabung, awan-awan juga masih tampak menghitam di iringi debur angin yang turut membuat pepohonan bergerak kesana-kemari. Rintik hujan masih terus berderu mengawal kesunyian pada sebuah sungai di Desa Mondi, Kecamatan Rawak, Kabupaten Sekadau.

Konon, di hulu Sekadau tepatnya Desa Mondi terdapat sebuah sungai besar yang dikenal masyarakat sebagai sungai yang menyeramkan dan amatlah misterius. Walaupun dijadikan sebagai tumpuan hidup ketika siang hari oleh para warganya, namun pada malam hari sungai ini akan senyap tanpa aktifitas karena di yakini sungai ini akan mengganas dengan memakan korban.

Tersebutlah sebuah keluarga yang hidup serba sederhana. Mereka hidup pada sebuah gubuk tua di pingir hutan tidak jauh dari sungai yang dikenal angker tersebut. Dinding rumahnya dari anyaman bambu sedangkan atapnya dari anyaman ilalang. Mereka hanya bertiga terdiri atas ayah, ibu dan seorang anak. Sang ayah bekerja sebagai nelayan sedangkan sang ibu biasanya megurus ladang dan tidak jarang berdagang. Malang! karena kemiskinannya, mereka acap dihina oleh penduduk lainnya.

Hidup serba kekurangan membuat keluarga ini tidaklah memiliki barang berharga, jangankan untuk berbelanja ke pasar, untuk makan seharai-haripun mereka harus getol bekerja terlebih dahulu, tidak jarang mereka harus menahan lapar ketika nasib sedang tidak berpihak kepadanya. Begitupun dengan pakaian yang mereka miliki, tidak ada pakaian mahal yang dapat mereka kenakan, yang ada hanya pakaian lusuh dan robek dibeberapa sisinya.

Suatu hari, sang anak yang sedang asik bermain ditepian sungai didatangi segerombolan anak-anak kaya yang ada di desa tersebut. Mereka datang dan mengolok-olok si anak miskin dengan kata-kata anaj kumuh, jorok dan bau. Mereka juga dengan sengaja melempari si anak miskin dengan yang mereka ambil dari tepian sungai.

Dengan cucuran darah segar yang terus mengalir dari dahinya, si anak miskin hanya dapat menangis dan berlari pulang ke rumahnya yang reot. Sesampainya di rumah, di ceritakannya kejadian yang baru ia alami kepada ayah dan ibunya dan membuat sang ayah naik pitam tak kuat menahan amarah atas apa yang terjadi pada anaknya tersebut.

Diiringi amarah, sang ayah bergegas keluar dan berniat mencari anak-anak yang telah mencemooh anaknya. Namun di tengah jalan karena terlalu tergesa-gesanya. Sang ayah justru menabrak orang yang membuat baju orang tersebut kotor terkena lumpur dari jalanan.

Orang tersebut marah dan mengatai sang ayah dengan kata-kata yang menyakitkan hati. “Hai orang miskin! Kau harus bertanggung jawab karena telah membuat baju ku menjadi kotor. Apakah kau tidak punya mata hingga dapat menabrak ku,” ungkapnya.

Mendengar hinaan tersebut, sang ayah tersinggung dan marah. Ia pun tidak fikir panjang untuk menghajar orang tersebut dengan sekuat tenaga. Namun sayang, banyak penduduk yang melihat kejadian tersebut lalu datang dan beramai-ramai balik menghajar sang ayah hingga ia babak belur. Ia lalu pulang sambil mengerang menahan sakit.

Hari demi hari berlalu, sang ayah masih sakit setelah bonyok di bogem warga. Ia juga berubah menjadi pribadi yang tertutup dan lebih suka menyendiri. Dalam benaknya selalu terfikirkan agar ia dapat merubah nasib agar keluarganya tidak terus menerus di hina warga. Ia terus terobesi untuk menjadi orang kaya dengan bagaipun caranya. Ia pun getol pergi ke dukun baik di desanya maupun desa lain untuk mewujudkan impiannya itu.

Keesokan harinya, ketika menjala ikan di sungai, tidak seekor pun ikan menyangkut di jalanya, namun ia tidak bergegas pulang walaupun hari sudah mulai gelap. Ia teringat anak dan istrinya di rumah akan makan apa jika ia pulang tanpa membawa hasil apapun. Dengan mengabaikan kepercayaan akan bahayanya berada di sekitar sungai pada malam hari, ia tetap melanjutkan pekerjaannya dengan harapan ada ikan yang akan menyangkut di jala miliknya.

Diitemani redupnya sinar rembulan, sang ayah masih berada di sungai saat malam tiba. Dari atas sampannya ia melihat seorang kakek tua berdiri tepat di pinggir sungai, lalu dihampirinya kakek tersebut sambil menawarkan bantuan kepadanya.

            “Sedang apa kakek di sini tengah malam begini, apakah ada yang dapat saya bantu,” ungkapnya.
            Sang kakek pun menjawab, “ Aku tahu kegundahan mu, kau ingin menjadi orang kaya bukan. Aku dapat mengabulkan semua permintaan mu asalkan kau harus mengantarkan sesajian setiap malam ke sungai ini,” jawabnya, di susul kabut yang kemudian turut membuat sang kakek menghilang secara tiba-tiba.

Keesokan harinya, sang ayah pergi ke sungai sambil membawa sesaji. Setelah meletakkannya pada bebatuan di pinggir sungai, ia lalu pulang. Dalam tidurnya ia bermimpi agar pada malam purnama ia harus pergi kesungai kembali dan berenang ke tengah sungai jika ingin keinginannya terkabul.

Tibanya malam purnama, sang ayah pergi dan berenang ke tengah sungai. Tiba-tiba ada sebuah benda menyangkut di kakinya. Lalu diambilnya benda tersebut yang tidak lain adalah sebuah tempayan berwarna merah. Tidak lama setelah itu terdengar suara kakek tua yang tempo hari sempat menemuinya di sungai tersebut.

            “Hai manusia, aku akan mengabulkan semua permintaanmu dengan syarat menukarnya dengan kepala anak manusia yang dimasukkan kedalam tempayan itu,” jelasnya.

Sang ayah pun lalu pulang, sambil mengatur siasat agar dapat menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh suara yang ia dengar. Di asahnya sebilah parang hingga tajam, lalu ia keluar mencari anak-anak untuk dipenggal kepalanya untuk dimasukkan ke dalam tempayan.

Saat pagi tiba, sang ayah langsung bergegas bangun untuk melihat hasil dari usahanya semalam. Ditemukannya emas dalam tempayan tempat ia meletakkan tumbal kepala anak manusia semalam. Ia bersorak kegirangan, membayangkan ia tidak akan pernah dihina lagi karena kini ia telah menjadi kaya. Sang istri dan anak yang merasa heran pun lantas bertanya kepadanya dari mana asal-usul harta tersebut, namun ia hanya menjawab agar anak dan istrinya merahasiakan hal tersebut dari warga.

Sang ayah pun berfikir, jika satu tumbal kepala saja sudah banyak yang akan ia terima, maka berarti semakin banyak tumbal yang ia berikan akan semakin banyak pula harta yang ia peroleh. Ia pun semakin bersemangat untuk berburu kepala anak kecil untuk dijadikannya bahan persembahanan untuk dimasukkan kedalam tempayan.

Warga mulai resah, banyak anak-anak yang mendadak menghilang. Mereka pun lantas berfikir untuk membawa anak-anak yang tersisa pergi meninggalkan desa. Saat malam purnama kembali tiba dan sudah waktunya untuk menyerahkan tumbal kembali, tidak ada lagi anak-anak yang tersisa. Sang ayah pun marah dihantui rasa bersalah kepada tempayan yang ada di dalam ingatannya.

Bagai orang yang telah kesetanan, ia tidak dapat berfikir panjang lagi. Ia hanya memikirkan bagaimana agar dapat mendapatkan kekayaan. Karena telah kalap, ketika melihat sang anak yang sedang tertidur. Diambilnya parang dan ditebaslah kepala anak kandungnya sendiri.

Sontak ia tersadar bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang buruk, ia telah membunuh anak kandungnya sendiri demi harta. Ia tersadar, marah, kesal dan menyesal sambil menangis sejadi-jadinya. Di ambilnya tempayan untuk dipecahkannya, namun sayang tempayan tersebut terlalu kokoh.

Ia tak putus asa, di ambilnya tempayan tersebut dan ia bawa kembali ke sungai. Dilemparnya tempayan tersebut ke sungai, namun sayang seiring dengan menghilangnya tempayan tersebut maka hilang pula seluruh harta yang ia miliki terbawa oleh tempayan yang kemudian membentuk sebuah lubang.

Dari kejadian tersebut, warga percaya bahwa lubang tersebut adalah lubang emas yang berisikan seluruh harta kekayaan dari sang ayah yang malang tersebut.

3 komentar