BujangAdau - Embun
pekat perlahan mulai memudar, diiringi kokok ayam jantan dan kilauan
mentari seolah menjadi pertanda bahwa
mimpi yang di bangun sejak semalam diranjang tidur harus segera diakhiri.
Kicauan burung bersiul-siul menyapa pagi menambah suasana syahdu bagi penduduk
yang hendak memulai aktifitasnya.
Ibu-ibu
mulai sibuk menghidupkan perapian untuk memasak, di bakarnya kayu-kayu kering
di tungku usang yang terbuat dari tanah liat hingga asap hitam keluar dari
corong dapur. Sementara bapak-bapaknya sibuk memandikan burung peliharaan atau
sekedar menyeruput secangkir kopi pahit sebelum pergi mengurus ladang.
Dahulu
kala, tersebutlah sebuah kampung yang aman dan damai. Hidup masyarakatnya
makmur sejahtera karena semua yang mereka inginkan masih tersedia di alam.
Hutan yang rimbun dan sungai yang jernih dengan melimpahnya ikan di dalam nya
membuat masyarakat tidak perlu bersusah payah jika hanya untuk sekedar makan.
Apa lagi dengan kemampuan menggarap ladang semakin menjamin bahwa kelaparan
seolah menjadi peristiwa yang mustahil di tempat ini.
Selain
itu, masyarakat juga hidup rukun dan adil. Mereka saling bantu membantu saat
tetangga mereka sedang membutuhkan pertolongan. Gotong-royong seolah menjadi
pemandangan lumrah sehari-hari yang turut menjadi warna tersediri bagi kampung
tersebut. Nama kampung tersebut adalah Kampung Kenabuk.
“Semua
warga harap berkumpul, semua warga harap berkumpul ayo segera berkumpul karena
ada pengumuman untuk kita semua,” teriak seorang warga sambil memukul
kentongan.
“Ada
apa ya pak?” ungkap seorang istri pada suaminya bertanya-tanya.
“Tidak
tau bu, ayo kita berkumpul saja. Siapa tahu pengumumannya penting,” balas sang
suami pada istrinya.
Pagi
itu, sebelum pergi ke ladang seluruh penduduk berkumpul di sebuah tanah lapang.
Mereka mematuhi perintah si pembawa warta yang hendak di sampaikan kepada
mereka. Mereka pun saling bertanya-tanya, apakah gerangan yang hendak
dikabarkan hingga seluruh penduduk kampung harus berkumpul seperti ini.
“Aku kemari diperintah ketua adat,
hendak mengabarkan bahwa tidak lama lagi putri beliau hendak dipersunting
lelaki pilihannya. Oleh karena itu, beliau mengundang seluruh penduduk kampung
untuk menghadiri perkawinan ini,” ungkap si pewarta tersebut.
Mendengar
kabar ini, seluruh penduduk kampung pun turut berbahagia. Mereka bersorak-sorai
kegirangan mendengar sang kembang desa hendak dipinang. Apalagi akan diadakan
pesta besar-besaran yang diselenggarakan selama tiga hari tiga malam
berturut-turut.
Berhari-hari
setelahnya, seluruh penduduk tidak lagi pergi berladang. Mereka berkumpul di
rumah ketua adat untuk membantu mempersiapkan pesta perkawinan. Para pria
membangun pelaminan serta dihiasnya dengan kain yang indah. Tidak lupa
dipasangnya janur kuning pertanda akan diselenggarakan akad perkawinan.
Sementara wanita sibuk memasak di dapur untuk disuguhkan kepada tamu saat
berpesta nanti.
Sebagai
orang yang sangat di segani, ketua adat sangatlah senang anak nya dipinang. Ia
juga tidak kalah senang karena penduduk sangat rajin bergotong royong
mempersiapkan pesta yang akan ia selenggarakan secara bermewah-mewahan
tersebut.
“Terima kasih atas bantuan kalian
mempersiapkan pesta ini, ku persembahkan pesta pernikahan ini untuk kita semua.
Mari berpesta,” ungkapnya sambil tertawa puas.
“Tidaklah mengapa ketua, kami sangat
berbahagia jika ketua berbahagia,” jawab seorang penduduk.
“Betul sekali ketua, tapi kami lebih
bahagia lagi karena putri akhirnya dipinang juga oleh lelaki idaman nya, semoga
saja acara perkawinan ini berjalan lancar hingga akhir nanti,” sambung penduduk
lain menimpali.
Setelah
segala persiapan selesai, keesokan harinya upacara perkawinan pun dimulai.
Seluruh penduduk berkumpul menyaksikan upacara tersebut dengan hati yang
gembira. Tamu undangan dari pembesar kerajaan maupun tokoh-tokoh penting dari
daerah lain turut hadir. Untuk semakin memeriahkan pesta, berbagai pertunjukan
turut dipertontonkan. Pesta yang dilakukan selama tiga hari tiga malam ini
benar-benar menjadi pesta termegah yang di selenggarakan di kampung tersebut.
Pesta
pernikahan selesai, seluruh penduduk kampung pulang kerumah nya guna
beristirahat karena keesokan harinya mereka harus kembali menjalankan rutinitas
seperti biasa. Begitu pula dengan para pembesar kerajaan dan tokoh-tokoh
penting yang kembali ke daerahnya untuk melanjutkan pekerjaannya masing-masing.
Sementara pasangan pengantin yang sedang berbahagia harus melewati masa adat
pantangan untuk tidak keluar rumah yang tidak boleh dilanggar oleh mereka
berdua.
Beberapa
hari berlalu, panas terik matahari menyengat ke ubun-ubun kepala, sudah
beberapa hari pula rintik hujan tidak turun membasahi bumi menandakan musim
kemarau segera tiba. Pada musim kemarau di kampung Kenabuk memiliki tradisi
atau kebiasan tersendiri yang rutin dilaksanakan. Nama kebiasaan ini ialah menanggok atau menangkap ikan di sungai.
Semua penduduk pun beramai-ramai pergi ke sungai untuk menangkap ikan di sungai
yang air nya mulai surut dimakan kemarau.
Mendengar
adanya kabar sedang banyak penduduk yang pergi untuk menanggok ikan, sang pengantin baru yang merasa bosan di rumah ini
pun berniat pergi ke sungai untuk sekedar melihat-lihat. Mereka mengabaikan
adat pantangan yang sedang mereka jalani sebagai pengantin baru.
“Suami ku, aku mendengar banyak
penduduk sedang menanggok ikan di
sungai. Antarkanlah aku kesana sebentar, aku hendak melihat-lihat dan membuang
rasa bosanku ini yang selalu ada di rumah setiap hari,” pinta sang istri kepada
suami nya.
“Bukankah kita sedang berpantang
istri ku, ada baiknya kita dirumah saja mengikuti aturan adat yang ada,” tepis
suaminya pelan.
“Aku ingin mengusir rasa bosan ku
ini dengan melihat penduduk menanggok
ikan barang sebentar saja. Ku mohon suami ku,” ungkapnya sambil merengek.
“Baiklah, mari kita pergi,” jawab
sang suami pasrah.
Karena
besarnya rasa cinta sang suami kepada istrinya serta rasa tak kuasa mendengar
rengekan sang istri. Sang suami pun mengantar istrinya pergi ke sungai.
Sepasang pengantin baru ini pun pergi meninggalkan rumah secara diam-diam
karena takut akan diberi hukuman jika ketahuan melanggar adat pantangan yang
sedang mereka jalani.
Karena
saking bahagianya dapat meninggalkan rumah, pasangan pengantin baru ini pun
lupa diri dan melanggar adat pantangan yang sedang mereka jalani. Tidak hanya
sekedar keluar rumah, mereka juga turun ke sungai bersama penduduk yang lain
untuk menonggok ikan. Di perolehnya
banyak ikan dan udang yang besar yang kemudian mereka simpan di tepian sungai
untuk dibawa pulang.
Setelah
lama menanggok ikan, tiba-tiba seekor
udang melompat ke dada sang pengantin pria. Seketika itu juga, sang istri pun
berkata pada suaminya.
“Hey suamiiku, seperti inilah anak
kita kelak saat melompat ke dadamu,” serunya sambil tertawa.
Mendengar
perkataan itu, sang suami pun tertawa terbahak-bahak di susun tertawaan seluruh
penduduk kampung, padahal menertawai binatang adalah hal yang sangat di larang
di kampung tersebut.
Langitpun
berubah menjadi gelap gulita, turunlah hujan lebat dan halilintar yang
bersaut-sautan dengan gelegar yang memekikkan telinga. Penduduk kampung
tersebutpun akhirnya menyadari bahwa mereka telah melanggar pantangan. Seketika
itu pendudukpun panik dan berhamburan lari menyelamatkan diri.
Belum
sempat mereka berlindung, tiba-tiba sebuah kilat besar menyambar kampung
tersebut sehingga menyebabkan seluruh penduduk berubah menjadi batu. Tidak
hanya sekedar penduduk melainkan seluruh isi kampung tersebut juga turut
berubah menjadi batu yang kemudian diberi nama Batu Lobor. Saat ini, kita dapat
menemukan sisa-sisa kampung ini di wilayah Kenabok, Desa Tembaga Kecamatan
Nanga Mahap.
Sumber :
Bapak Irwan (Guru)
Keren
BalasHapus