Cerita Rakyat Sekadau : Tengkorak Manusia di Sungai Sambang


BujangAdau - Kumpang-kumbang berterbangan diwanginya bunga yang baru mekar, diiringi sinar matahari pagi yang menerobos rimbunnya hutan belantara. Angin yang berhembus perlahan mengisyaratkan kedamaian bagi penduduk kampung yang baru saja membuka mata untuk memulai aktifitas dihari yang tenang.

Pada zaman dahulu, tersebutlah sebuah kampung di pedalaman hutan di Sekadau. Masyarakatnya hidup damai dan tentram serta saling menyayangi. Setiap hari mereka saling tolong menolong antar satu dan lainnya. Perilaku semacam ini adalah hal yang lumrah dan sudah menjadi turun temurun bagi penduduk disana.

            “Kepada seluruh warga diharapkan untuk berkumpul di tanah lapang, karena ketua adat memerintahkan kita untuk memperbaiki beberapa bagian rumah betang yang sudah lapuk,” ujar seseorang sambil membunyikan pentungan dari bambu yang dipukulnya berulang kali.

Mendengar pengumuman itu, seluruh penduduk kampung baik tua, muda dan anak-anak berbondong-bondong pergi ke tanah lapang. Mereka membawa perlengkapan yang dibutuhkan. Para lelaki membawa senjata tajam untuk mencari kayu dan dan sekaligus mengulitinya, sedangkan para wanita membawa perlengkapan memasak untuk dikonsumsi seluruh penduduk saat beristirahat nanti.

Setelah ketua adat membagi tugas, penduduk pun berpencar mengerjakan tugasnya masing-masing. Sebagian besar penduduk lelaki pergi ke hutan. Mereka menebang pohon yang sudah siap digunakan untuk dijadikan tiang penyangga. Mereka selalu melakukan sistem tebang pilih dan menebang sesuai kebutuhan. Hal ini dilakukan agar kelestarian hutan selalu terjaga.

Hutan bagi penduduk menjadi kebutuhan pokok. Tidak hanya kayu nya yang dijadikan sebagai bahan pembuat rumah, kulit kayu atau yang biasa disebut dengan kepuak biasa dijadikan pula sebagai bahan pakaian serta kebutuhan-kebutuan lainnya.

Hari itu, aroma kedamaian amatlah terasa. Selain bercengkerama dengan seluruh penduduk kampung, pekerjaan memperbaiki bagian rumah betang yang mulai lapuk pun cepat terselesaikan.

Hari demi hari berlalu, pola hidup saling menyayangi satu sama lain masih tetap terjalin. Penduduk pun merasa aman dan damai setiap harinya karena ikatan kekeluargaan bagi seluruh penduduk kampung semacam ini. Namun, hal ini mulai terusik ketika terdengar desas desus bahwa ada kelompok dari suatu suku lainnya yang akan mencoba mengusik ketenangan penduduk kampung ini.

Mendengar akan adanya sesuatu yang hendak mengusik, seluruh penduduk kampung pun bersiap guna berjaga-jaga. Mereka tidak ingin ketenangan dan wilayah kekuasaannya terusik sehingga mengganggu kehidupan penduduk kampung yang lainnya. Mereka khawatir, jika wilayah kekuasaannya terganggu, maka adat istiadat juga dapat terganggu pula. Maka dari itu, segala upaya akan mereka lakukan agar hal tersebut tidaklah terjadi.

            “Terdengar kabar jika ada suku yang hendak mengusik ketentraman kita. Aku khawatir jika mereka dapat merusak adat istiadat dan menguasai wilayah kekausaan di kampung kita ini. Mari kita bersiap jika mereka datang sewaktu-waktu,” ungkap seorang pemuda kepada kawan-kawannya.

“Berani sekali mereka, mari kita berita tahu seluruh penduduk kampung. Agar mereka juga bersiap untuk melawan suku tersebut,” sahut seorang pemuda lainnya.

Bagi penduduk kampung, adat dan istiadat serta wilayah kekuasaan adalah sebuah harga diri. Maka dari itu, apapun akan mereka lakukan guna dapat mempertahankannya.

Hari itu, kampung yang penduduknya adalah suku Dayak Punan ini mendapat tamu tak diundang dari suku lainnya, tujuannya tentu untuk menguasai wilayah kekuasaan dikampung tersebut. Penduduk kampung tentu saja tidak terima, sehingga pertarungan sengit pun terjadi. Dalam pertarungan ini, dimenangkan oleh penduduk dari suku Dayak Punan tersebut dan banyak dari musuh yang tewas karena ditebas kepalanya atau disebut pula dengan istilah ngayau.

Ngayau merupakan hal yang biasa ditemui, tidak hanya dalam pertarungan. Dalam tradisi suku Dayak Punan sendiri, ngayau dijadikan pula sebagai tanda keperkasaan seorang pria dimata para wanita dengan tanda membawakan kepala manusia sebagai buktinya.

Hingga saat ini, masyarakat dapat menemukan tengkorak-tengkorak manusia peninggalan suku Dayak Punan ini di Dusun Sulang Botong Desa Sungai Sambang Kecamatan Sekadau Hulu Kabupaten Sekadau.

Tidak ada komentar