BujangAdau - Malam
itu, cuaca sedang tidak bersahabat. Diiringi angin ribut dan suara guntur yang
menggelegar, rintik hujan satu persatu menetes membasahi sebagian bumi di Kota
Khatulistiwa, Pontianak. (Kamis,13/9). Setelah menyeruput minuman sereal rasa
kacang hijau. Dominika Liha, mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)
Universitas Tanjungpura (Untan) menyatakan pendapatnya tentang makna
keberagaman dalam keluarga lintas agama.
“Hidup itu pasti banyak perbedaan, sisi perbedaan itu sangat dekat
dengan hidup kita dan berbedaan itu tidak bisa dipisahkan, maka dari itulah
jadikan perbedaan sebagai suatu hal yang beragam
yang dapat menyatukan kita”, ungkapnya masih sambil memegang gagang gelas
(13/9). Liha sendiri merupakan anak dari keluarga yang kini
terdiri atas lintas agama yaitu Islam, Kristen Khatolik, Kristen Protestan dan
juga Budha.
Terdiri
atas keluarga lintas agama membuatnya faham betul dengan toleransi dan
keberagaman. Menurutnya, tidak perlu memulai topik tentang toleransi dengan
lingkup luas seperti Indonesia atau Kalimantan Barat, melainkan toleransi dapat
dimulai dalam lingkup terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (1988) menyatakan bahwa keluarga merupakan lingkup terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah
satu atap dalam keadaan saling ketergantungan . Dari
keluarga, pendidikan tentang toleransi dan keberagaman dapat diajarkan kepada
anggota-anggota keluarga guna dilaksanakan dalam lingkup masyarakat luas
selanjutnya. Hal inilah yang juga diterapkan oleh Liha dan keluarganya.
“Nenek
saya Budha, bapak saya Khatolik dan saya ikut bapak dan mama saya Khatolik, kakak
saya ikut suaminya Kristen dan kakak saya yang satunya menikah dan ikut
suaminya Islam. Jadi di keluarga kami sangat banyak perbedaan dalam segi
agama,” ungkap nya.
Liha juga
menambahkan, ketika hari besar keagamaan antar agama. Keluarganya memiliki tradisi
sendiri yang rutin dilakukan setiap tahunnya tanpa membeda-bedakan perbedaan
kepercayaan antara satu dan yang lainnya.
“Contohnya
saja saat hari lebaran (Idul Fitri-red), kami semua kumpul di rumah
kakak kami (yang muslim-red) untuk melaksanakan lebaran bersama. Begitu juga
saat hari raya natal, kakak kami yang Kristen dan yang Islam pulang kumpul
dirumah untuk merayakan natal bersama tanpa membeda-bedakan antara satu dan
yang lainnya,” tambahnya sambil mengingat-ingat.
Menurut
Liha, tidak ada halangan yang berarti ketika ia dan keluarganya menjalankan
kehidupan atas dasar perbedaan semacam ini. Namun menurutnya, kerap kali ia
harus menjelaskan tentang makna pluralitas kepada para keponakannya yang kerap bingung dengan pola kepercayaan
yang tidak seragam ini.
“Ndak ada sih,
cuma kesulitannya bagi keponakan saya yang sekarang masih kecil dan belum
mengerti. Misalnya kenapa neneknya dan bibiknya kegereja ini (gereja
Khatolik-red) sedangkan dia ke gereja yang ini (gereja Protestan-red) atau yang satunya keponakan saya ke masjid
sedangkan nenek dan bibiknya ke gereja. Cuma saya mencoba menjelaskan, ini loh gereja
nenek Khatolik karena nenek Khatolik, gereja kamu Kristen karena bapakmu
Kristen atau ini loh Masjid karena bapakmu Islam, itu jak
sih ndak ada kesulitan yang berarti,”. Ungkapnya.
Menanggapi
soal maraknya isu intoleransi di Indonesia terutama Kalimantan Barat, Liha
menyatakan ketidaksetujuannya. Menurutnya, perbedaan adalah hal terindah guna
hidup saling berdampingan.
“Perbedaan
lalu menjadi perpecahan menurut saya itu salah, karena kita walaupun
hidup berbeda-beda tetap harus saling hidup berdampingan. Jadi kita jika harus
saling memusuhi dan saling tidak menghargai adalah sesuatu yang tidak baik dan
harus dihindari di Indonesia terutama,”. gumamnya.
Terakhir, Liha
mengungkapkan harapan guna terciptanya pluralitas dalam kehidupan lintas agama
dan kehidupan bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. “Saya
berharap perbedaan dapat dijadikan sebagai sarana terciptanya keselarasan dan terjadinya keharmonisan
sesama masyarakat, sehingga kasus perpecahan atas dasar perbedaan tidak akan
terjadi lagi,”. Tutupnya.
Tidak ada komentar