Pontianak : Kota Ramah Disabilitas

Bujangadau - Kota Pontianak pada pertengahan  2019 lalu sempat digegerkan dengan tewasnya seorang anak penyandang disabilitas yang mendapatkan diskriminasi dan dianiaya oleh kedua temannya. Lebih mirisnya lagi, kejadian ini terjadi disaat ketiganya sedang sama-sama menghuni Pusat Layanan Anak Terpadu (PLAT). Tidak hanya sekedar mencuri perhatian masyarakat sekitar, kasus ini bahkan membuat Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi melemparkan pernyataan untuk memberi sanksi tegas bagi pihak yang abai sehingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa ini. Lebih jauh, Kepala Dinas Sosial  yang saat itu tengah menjabat juga turut dipolisikan oleh orang tua korban.

Perilaku diskriminatif terhadap disabilitas masih banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Bentuknya juga beragam mulai dari penyebutan cacat hingga anggapan sebagai masyarakat yang tidak produktif dan merepotkan. Tidak hanya dilakukan oleh masyarakat umum, pemerintah dibanyak daerah sebagai pusat kebijakan juga tidak jarang melakukan hal yang sama melalui tidak diberikannya akses layanan publik yang dapat mempermudah para disabilitas dalam menjalankan kehidupannya.

Dikutip dari repository.untag-sby.ac.id menuliskan bahwa terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus atau disabilitas. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa semuanya memiliki definisi yang berbeda sehingga bentuk pelayanan yang diberikan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Beberapa jenis penyandang disabilitas tersebut misalnya penyandang disabilitas mental yang terbagi atas mental tinggi dan mental rendah serta kesulitan belajar spesifik. Selain itu, ada  pula disabilitas fisik yang terdiri atas tuna daksa (kelainan tubuh), tuna netra (kelainan indera penglihatan), tuna rungu (kelainan pendengaran) dan juga tuna wicara (kelainan berbicara). Adapun jenis selanjutnya ialah tuna ganda atau disabilitas secara fisik dan mental.

Dalam tatanan hukum negara, Indonesia telah  mengatur hak-hak disabilitas dalam undang-undang No. 19 tahun 2011 tentang konversi  hak-hak penyandang disabilitas. Selain itu, Perpres No.75 tahun 2005 dan undang-undang No.18 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas juga menjadi salah satu produk hukum yang seharusnya dapat menjamin kehidupan penyandang disabilitas saat ini.

Terlepas dari permasalahan dan juga kelalaian seperti yang telah dijelaskan pada paragraf pembuka diatas. Sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak juga memiliki peraturan daerah Nomor. 13 Tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan penyandang disabilitas. Hal ini turut menjadi bukti keseriusan dan komitmen pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan serta kesetaraan bagi disabilitas melalui layanan publik yang ada.

Diunduh dari data.kalbarprov.go.id yang terakhir diperbaharui pada 15 Juli 2020 menuliskan bahwa jumlah penyandang disabilitas di Kota Pontianak ialah sebanyak 383 orang dari berbagai rentang usia. Beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan bagi disabilitas salah satunya dilakukan oleh Dinas Perpustakaan Kota Pontianak yang memberikan layanan Delivery Buku Antar atau Debar. Melalui layanan ini, para penyandang disabilitas tidak perlu bersusah payah untuk pergi ke perpustakaan karena buku yang hendak dipinjam akan diantar tanpa dipungut biaya.

Sejak tahun 2014 lalu, Kota Pontianak juga telah memiliki fasilitas yang dapat menunjang dalam memberikan pemenuhan hak Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) seperti autis dan down syndrom, fasilitas tersebut ialah Unit Pelayanan Teknis (UPT) Autis Center yang terletak di Jalan. Tabrani Ahmad, Pal Lima, Kecamatan Pontianak Barat. Dikutip dari autiscenter.dindikptk.net menuliskan bahwa bangunan yang terdiri atas 11 ruang  meliputi ruang terapi bermain, fisioterapi, sensory integritas, audio visual, ruang baca dan bercerita, terapi bina diri, ruang screening, terapi emosi, terapi wicara, terapi okupasi dan terapi perilaku ini seluruhnya dimaksudkan untuk memberikan pembinaan bagi siapa saja yang membutuhkan layanan khusus.

Tidak hanya sekedar dalam pemenuhan fasilitas pendukung, Autis Center Kota Pontianak juga memberikan terapi yang dilakukan oleh para psikolog. Layanan ini turut diperuntukkan pula  bagi masyarakat dari luar kota yang ada di Kalimantan Barat. Tidak cukup sampai disitu, Autis Center tidak  memungut biaya sehingga tidak memberatkan masyarakat.

Komitmen pemerintah Kota Pontianak dalam memberikan kemudahan akses dan juga pelayanan terhadap disabilitas turut diimplementasikan dalam bidang pendidikan yaitu melalui sekolah inklusi. Portal informasi pontianakkota.go.id menuliskan bahwa sekolah inklusi merupakan sistem layanan pendidikan yang mengatur agar difabel dapat dilayani di sekolah terdekat pada kelas regular bersama dengan teman-teman seusianya. Saat ini, telah ada beberapa sekolah inklusi percontohan dalam tahap awal, adapun sekolah-sekolah tersebut seperti TK Selayar, SDN 06, SDN 34, SMPN 2 dan SMPN 23. Mengingat perlunya penanganan yang berbeda antara siswa umum dan siswa dengan disabilitas membuat pemkot juga turut mempersiapkan tenaga khusus dalam pelaksanaannya.

Selain dari yang telah dijelaskan diatas, pemerintah Kota Pontianak juga terus berupaya membangun dan meningkatkan sarana serta prasarana yang ramah terhadap disabilitas. Salah satunya ialah telah adanya trotoar dengan jalur khusus yang diperuntukkan kepada tuna daksa dan juga tuna netra.

Tidak hanya pemerintah Kota Pontianak yang peduli akan kesetaraan disabilitas melalui kebijakan-kebijakannya. Dalam tatanan masyarakat, turut hadir perkumpulan atau komunitas anak muda yang tertarik dan menggabungkan dirinya dalam Kerabat Peduli Inklusi (KLIK). Melalui gerakan yang dilakukan, komunitas ini berupaya mengajak masyarakat agar ramah terhadap disabilitas.

Terdapat beberapa cara yang dilakukan komunitas ini dalam mencapai tujuan untuk memperkenalkan dan juga menciptakan iklim yang setara antara masyarakat umum dengan disabilitas. Adapun cara tersebut dilakukan dengan merekrut volunteer dan mengajarkan berbagai hal tentang disabilitas seperti belajar bahasa isyarat dan lain sebagainya. Komunitas ini bahkan tidak segan menjemput bola dengan  cara mengunjungi sekolah-sekolah dalam rangka memperkenalkan banyak hal tentang disabilitas tersebut.

Pandangan dan perilaku diskriminatif terhadap disabilitas sudah seharusnya dihilangkan dalam tatanan pemikiran semua orang. Menjadi disabilitas bukan berarti tidak dapat untuk produktif dan juga berprestasi. Mari kembali menengok sejarah lampu yang ditemukan oleh seorang pengidap tuna rungu, Thomas Alfa Edison. Selain itu,  ada pula Albert Einstin yang mengidap syndrome asperger namun masih sangat familiar dikenal sebagai fisikawan teoritis hingga saat ini. 

Begitu pula dengan disabilitas di Pontianak yang dapat berkarya dan membanggakan melalui prestasi yang diperolehnya. Sebut saja Wahdina, seorang atlet disabilitas yang pernah berlaga dalam ajang bergengsi ASEAN PARA GAMES dan meraih medali emas pada cabang olahraga renang. Selain itu, dalam hal keterampilan disabilitas di Pontianak juga tidak perlu untuk diragukan lagi. Seperti misalnya pada masa pandemi saat ini, melalui binaan dari salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membuat para disabilitas dapat berkarya dengan memproduksi masker non-medis. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya bahkan bisa mencapai hingga 500 masker dalam satu hari pengerjaan.

Melalui akses dan kebijakan pemerintah serta dorongan masyarakat yang ramah disabilitas di Kota Pontianak menunjukkan bahwa menerima keberagaman dan kesetaraan di Bumi Khatulistiwa ini tidak hanya dalam aspek suku maupun agama namun termasuk pada aspek lainnya yaitu disabilitas. Hal ini menjadi bukti dan memperkuat pernyataan bahwa Pontianak adalah rumah bersama, rumah yang nyaman bagi kita semua.

Tidak ada komentar