My Ghost Friend and I - Cerita Pendek |
Tidurku terusik saat merasakan hawa dingin yang menerpa pipi kananku. Perlahan aku membuka mata, aku sedikit terkejut melihat sesuatu di depanku.
"Astaga Hiro!"
Ia terpingkal-pingkal menertawai wajah kagetku. Aku mendengus kesal. Saat aku mengalihkan pandangan ke sisi tempat tidurku yang lain, lagi aku kaget. Seorang wanita muda menggunakan dress putih tulang sedang duduk menatapku.
"Kalian membuatku jantungan setiap hari."
Aku tak menghiraukan mereka, kuraih handuk dan pergi ke kamar mandi.
"Jangan menggangguku saat mandi!" Teriakku. Aku sungguh kesal di pagi hari yang cerah ini.
Namaku Rigel Sakala. Aku lebih suka dipanggil Kala dibandingkan Rigel. Tak ada alasan khusus hanya suka saja. Sama seperti remaja lainnya, kehidupanku terbilang normal. Tapi semuanya berubah saat aku mengalami kecelakaan dua tahun lalu.
Mama bilang aku koma selama tiga bulan. Aku lupa apa yang kurasakan saat aku terbaring di ranjang rumah sakit itu. Kata mama saat aku sadar, aku bertingkah aneh.
Mereka yang ada di kamarku tadi bukanlah manusia. Aku lebih suka menyebutnya roh daripada hantu. Yap, dampak dari kecelakaan itu membuat aku bisa melihat dunia lain dari dunia manusia biasa.
Hiroshi adalah roh seorang anak laki-laki keturunan Jepang. Secara fisik ia sama seperti remaja laki-laki umumnya. Bahkan ia bilang umur kami sama. Jika kupikir-pikir umur asli Hiro mungkin sudah seperti umur kakekku. Aku mengenal Hiro setelah bertemu dengan Elena.
Elena, dia roh gadis Belanda yang cantik menurutku. Ia terlihat elegan dan anggun, ia mungkin terlihat sombong dan angkuh. Tapi dibalik semua itu, ia gadis yang ramah dan, yah, sedikit pemarah.
***
Kami bertemu pertama kali saat aku pulang sekolah di sore hari. Waktu itu sudah hampir maghrib dan hujan. Atas inisiatifku sendiri aku berteduh di sebuah halte. Jalanan mulai sepi hari itu. Perhatianku teralihkan saat melihat sebuah rumah mewah dan megah tepat di samping halte. Entah punya keberanian dari mana, aku menerobos masuk rumah itu.
Elena memergokiku memasuki rumahnya. Ia murka dan berkata, "Lancang sekali anak manusia ini." Aku ketakutan saat itu. Wujud Elena sungguh menyeramkan. Beruntung Hiro datang saat Elena hampir membuatku mati ketakutan. Tanpa kusadari awalnya, ternyata mereka adalah hantu dan mereka adalah bukti kekejaman para penjajahan dulu. Kupikir Hiro dan Elena tak akur karena berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Ternyata mereka saling menyayangi dan berteman akrab. Hiro bilang kepadaku jika ia menganggap Elena sebagai saudara perempuannya. Aku setuju, Elena terlihat seperti kakak perempuan yang baik.
Aku bingung awalnya, tapi lama-lama aku menerima kelebihanku ini. Aku bersyukur memiliki teman beda dunia seperti mereka. Tapi tak jarang aku dianggap aneh oleh teman-temanku saat ketahuan berbicara pada teman dunia lainku hehe.
Elena melemparkan tas sekolahku saat aku sudah selesai bersiap.
"Cepatlah, liat jam kamu pasti terlambat." Ucapnya.
"Terima kasih, El. Bye, Hiro, aku pergi." Pamitku.
Aku bersekolah seperti hari-hari biasanya. Sebisa mungkin aku tak berinteraksi dengan roh-roh yang terlihat di sekolah. Mereka terkadang menyebalkan juga. Beruntung aku sudah terbiasa dengan kejahilan dari Hiro dan Elena.
Disekolah aku mempunyai banyak teman manusia normal. Tapi yang paling dekat hanya Bagas, karena ia teman semejaku. Ia juga mempercayaiku yang mempunyai kelebihan, bahkan ia sering memintaku untuk menceritakan bagaimana Hiro dan Elena.
"Gas, aku pulang duluan." Aku berpamitan pada Bagas di depan gerbang sekolah.
"Ah, ya hati-hati, Kala."
Aku berjalan kaki menuju rumah. Namun saat diperjalanan, tiba-tiba hujan deras turun. Aku memilih meneduh di sebuah rumah pinggir jalan.
"Masuklah Kala." Aku tersentak kaget saat sebuah suara berat memanggil namaku.
"Kolonel Matthew?" Aku bingung.
"Masuklah, ini rumah teman lamaku. Kau bisa basah jika disitu terus. Lihat atap itu bocor." Ujarnya.
Sulit dikatakan tapi lelaki paruh baya penuh wibawa yang sedang berbicara denganku ini adalah seorang roh tentara. Dia tinggal bersama Elena dan Hiro di rumah kosong megah milik Elena.
"Kala, ini John, teman seperjuanganku dulu." Kolonel Matthew memperkenalkan aku pada sosok pria paruh baya berkumis.
"Hai, paman John." Aku sedikit tersenyum kikuk dan agak takut melihat seringai dibalik kumisnya itu.
Sepengetahuanku, Kolonel Matthew adalah seorang tentara Amerika yang tewas saat berperang dulu. Ia pernah bercerita padaku betapa kejamnya dunia peperangan.
"Kau terlihat takut padaku." Ucap John.
Aku tersenyum kikuk, "wajahmu begitu tegas dan sedikit galak dengan kumis itu. Tapi kau keren." Ucapku.
Ia dan Kolonel Matthew tertawa. Aku tersenyum malu. Jika dilihat mata orang normal mungkin rumah ini kosong dan tak terurus. Tapi dimataku rumah yang ditinggali John ini seperti rumah normal.
"Dunia saat ini sungguh damai. Aku bersyukur anak-anak seperti kalian bisa merasakan kehidupan yang baik." Kata John.
"Saat seusiamu, kami sudah mengikuti perang. Kami mengangkat senjata dan terlatih untuk selalu kehilangan." Sambung Kolonel Matthew.
Aku tertegun mendengar cerita keduanya.
"Paman, boleh aku tahu kau meninggal di tahun berapa?" Tanyaku hati-hati.
"Seingatku waktu itu tahun 1918, itu pertama kalinya perang besar yang kuhadapi dan sialnya aku tertembak." Jawabnya.
"Aku merasa sedih, aku kehilangan John sebagai teman dan saudara hari itu. Sebagai pemimpin pasukan aku harus rela kehilangan prajurit-prajuritku. Aku harap tak ada peperangan lagi."
"Dampak yang dirasakan saat perang begitu menyakitkan. Mungkin sekitar 850 ribu orang tentara yang tewas di medan perang. Bahkan 13 juta warga sipil juga merasakan dampaknya pada perang dunia pertama itu."
Aku mendengarkan cerita dua sosok tentara yang berwibawa ini.
"Oh ya, kata guru sejarahku, perang dunia pertama di latar belakangi oleh tewasnya Archduke Franz Ferdinand, putera Raja Austria. Lalu terjadilah peperangan antara dua blok. Tapi kenapa kalian tentara Amerika ikut-ikutan? Apa kalian masuk ke dalam salah satu blok?" Tanyaku penasaran.
***
Kolonel Matthew menghela nafas, "Awalnya kami, Amerika, ingin bersikap netral. Tapi biadapnya agresi Jerman menenggelamkan kapal laut Inggris RMS Lustania pada tahun 1915. Kapal itu membawa ratusan warga Amerika. Itulah sebabnya Amerika bergabung dengan blok sekutu."
Aku mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan dari Kolonel Matthew.
"Sepertinya kau suka mendengarkan cerita kami Kala?" Tanya John.
Aku tersenyum lebar, "ini menyenangkan. Cerita yang bisa kudengar langsung dari narasumbernya bisa membuat wawasan sejarahku bertambah."
Kolonel Matthew dan John tertawa.
Hujan telah reda. Aku berpamitan pada dua sosok pria itu. Kembali aku berjalan pulang ke rumah ditemani genangan-genangan air di jalanan.
Hari Minggu pagi yang cukup cerah. Aku dan teman-temanku sepakat untuk jogging di taman kota.
"Kala, teman-teman kamu sudah datang sayang." Teriak mama dari luar kamarku.
"Iya, ma."
"Kala mau kemana?" Tanya Elena.
Aku mengelus dada karena kaget, Hiro menertawaiku.
"Aku mau lari pagi." Jawabku.
"Aku merindukan teman-temanku." Ucap Hiro bersedih.
"Apakah tak ada temanmu yang kau temui disini, Hiro? Kemarin aku bertemu Kolonel Matthew, dia bertemu teman lamanya." Ujarku.
Hiro menggeleng, "Aku pindah ke sini dan meninggalkan temanku di Jepang sana. Dan kudengar kotaku hancur oleh bom beberapa bulan setelah aku pergi." Sedihnya.
Aku sedikit terbawa perasaan. Sepertinya peperangan membawa dampak yang begitu buruk, terutama untuk anak-anak seperti kami.
Aku berjalan kaki bersama teman-temanku menuju taman kota. Aku, Bagas dan Reno asyik berbincang mengenai pertandingan sepak bola tadi malam. Sementara Rubi, Arman dan Mukhlis berjalan di belakang sambil bercanda.
Udara pagi dan pemandangan taman kota yang begitu indah membuatku bersemangat berolahraga. Aku berlari di putaran ke-delapan. Rubi dan Bagas sedang berisitirahat, duduk sambil bersantai di rerumputan.
Kami duduk bersama sambil meluruskan kaki dan mengatur nafas. Aku meneguk air mineral yang kubeli tadi. Hari mulai siang, panas matahari mulai terasa menyengat kulit. Aku dan teman-temanku berpisah saat di jalan pulang.
Saat aku sedang berjalan sendiri, dengan tiba-tiba Elena dan Hiro muncul. Mereka ikut berjalan di sampingku.
"Kau terlihat lelah." Kata Elena.
"Cukup lelah, tapi aku berhasil memecahkan rekor. Aku berlari dua puluh putaran." Kataku. Elena menggidikkan bahunya acuh.
"Aku bisa lebih dari itu." Ucap Hiro.
Aku berdecak kesal, "kau tidak bisa merasa capek Hiro." Kataku. Ia tertawa kecil.
***
Keesokan harinya aku pergi sekolah dan tidak terlambat. Aku berterima kasih pada Hiro yang membangunkanku, ya walaupun cara yang ia gunakan sedikit menyebalkan. Hari Senin selalu identik dengan upacara. Disinilah aku, berbaris di tengah lapangan. Tapi aku merasa ada yang kurang.
Sepanjang upacara aku merasa aneh. Saat aku tiba di kelas, aku baru teringat sesuatu. Kemana Bagas? Kursi sebelahku kosong, tas merah miliknya tak ada. Apa ia tak masuk sekolah?
Saat istirahat aku bertanya pada Rubi dan Reno. "Bagas sakit?"
"Iya, dia kemarin dipukulin saat kita pulang dari taman kota." Jawab Reno.
"Hah?" Aku kaget.
"Bagas dipukulin sama anak sekolah lain. Kita gak tau alasannya apa. Waktu kita mau nolongin, mereka sudah kabur." Ujar Rubi.
Aku menggeram kesal, siapa yang berani memukuli temanku? Apa salah Bagas, dia anak baik.
"Mau kita balas?" Tanya Rubi.
Aku hanya diam menahan emosi.
Bel pulang sekolah berbunyi, biasanya ada Bagas yang menemaniku berjalan sampai depan gerbang. Pulang sekolah ini aku dan beberapa temanku sepakat menjenguk Bagas.
Aku begitu prihatin melihat kondisinya. Beberapa bagian wajahnya memar.
"Kamu kenal mereka, Gas?" Tanyaku.
Bagas menggeleng, "Aku nggak kenal sama sekali. Bahkan aku tak pernah membuat masalah dengan anak sekolah lain."
"Apa mungkin mereka salah sasaran?" Celetuk Arman.
Hari sudah sore, kami pamit pada Bagas dan keluarganya. Aku berpisah di jalan dengan teman-temanku. Aku masih sedikit kesal dengan orang-orang yang memukuli temanku. Apa tujuan mereka?
"Kala?" Sebuah suara memanggil namaku.
Aku menoleh, "Nyonya Liz?"
"Kamu dari mana? Baru pulang sekolah?" Tanyanya.
Aku menggeleng, "aku habis dari rumah temanku."
Nyonya Lizabeta, aku lebih suka memanggilnya Nyonya Liz. Dia roh wanita keturunan Rusia. Menurut cerita Hiro ia tewas terbunuh saat penjajahan Jepang.
"Apa kau habis berbelanja Nyonya Liz?" Tanyaku.
Ia mengangguk, "aku berbelanja untuk kebutuhan rumah Elena."
"Ehh tapi apakah hantu bisa berbelanja?" Bingungku.
Nyonya Liz tertawa, "Kami punya pasar sendiri Kala." Katanya. Aku mengangguk.
Aku mampir di rumah megah milik Elena. Nyonya Liz disini sebagai asisten rumah milik Elena. Ia membuat makanan untuk 'hantu' dan tentu saja aku tak boleh memakannya.
"Ngomong-ngomong, kenapa wajahmu cemberut?" Tanya Nyonya Liz.
Aku menghela nafas dan menceritakan kejadian yang dialami oleh Bagas hingga rasa kesalku yang ingin membalas perbuatan orang-orang itu.
"Jangan berkelahi Kala, itu tidak baik. Pasti ibumu akan khawatir nanti." Ucap Nyonya Liz.
"Dulu aku punya dua orang anak. Yang pertama bernama Dimitre dan yang kedua Czar. Mereka tumbuh sepertimu dan anak remaja pada umumnya. Suamiku seorang tentara yang sangat patuh pada negara. Setelah perang dunia pertama, dunia tampak tenang dan normal. Namun sayang itu tak berlangsung lama."
"Jerman mengkhianati negara kami. Dan terjadilah peperangan dan perebutan kekuasaan."
"Bukannya Uni Soviet dan Jerman saling membantu?" Tanyaku bingung.
"Yahh, awalnya memang begitu saat kami berhasil membantu Jerman menduduki Polandia. Tapi pada tahun 1941, Jerman justru mengkhianati Uni Soviet dengan menginvasi daerah barat Uni Soviet. Akibatnya dua negara ini saling berperang. Suamiku gugur di peperangan dan anak-anakku harus hidup tanpa ayah."
Aku sedikit tersentuh dengan kisah dari Nyonya Liz. "Lalu apa yang terjadi pada Dimitre dan Czar?"
"Setelah kematian suamiku, aku membawa anak-anakku pindah ke Hindia Belanda. Aku menyekolahkan mereka bersama dengan anak orang-orang Belanda."
"Tapi ternyata Dimitre selalu mendapatkan ejekan dari anak-anak Belanda karena fisiknya yang sedikit kecil. Czar marah ketika mengetahui Dimitre di rundung. Ia berkelahi dengan anak-anak Belanda itu."
"Kau tau? Anak-anak Belanda itu mengadu pada orang tua mereka. Anak-anakku yang malang harus ditangkap. Aku histeris hari itu. Aku merasa penderitaan tak berakhir disitu. Tak lama Jepang pun datang dan demgan membabi buta membunuh para orang-orang Belanda. Aku senang ketika mereka membunuh orang-orang Belanda sombong itu. Namun naasnya aku dan anak-anakku pun harus ikut terbunuh."
Sepertinya Nyonya Liz sudah habis bercerita. Aku sedikit sedih mendengar kisahnya, aku teringat ibuku di rumah.
"Kala, jika ada masalah sebaiknya kau selesaikan dengan kepala dingin. Usahakan jangan ada tindak kekerasan. Aku tak ingin melihat wajah lucumu itu penuh memar." Kata Nyonya Liz, ia mencubit ujung hidungku.
Aku tersenyum, ia begitu lembut seperti ibuku. "Terima kasih sarannya Nyonya Liz." Kataku. "Aku pamit pulang dulu, mendadak aku rindu mama." Aku bergegas pulang ke rumah.
Hari demi hari sudah aku lewati, orang-orang yang memukuli Bagas sudah ditemukan oleh Arman dan Mukhlis. Bagas pun sudah masuk sekolah. Hari ini kami sepakat menemui pelaku pengeroyokan.
Kami mencegat empat orang anak itu. Mereka terlihat heran.
"Ada apa?" Tanya salah satunya.
"Cih masih bertanya, lihat kau yang memukulinya kemarin." Kata Rubi sambil menunjuk Bagas.
Keempat orang itu terlihat sedikit takut.
"Maksud kalian apa memukuli teman kami? Apa Bagas ada salah dengan kalian?" Tanyaku mencoba tenang.
"T-tidak. Kami salah orang hari itu." Jawab anak yang menggunakan topi.
"Hari itu kami menunggu salah satu musuh kami. Dan ternyata ia tidak lewat jalan itu. Karena temanmu yang lewat, kami mengira itu dia. Kami langsung memukulinya tanpa ampun. Maafkan kami." Ucap seorang anak bertubuh tinggi. Teman-temannya ikut menunduk.
"Apapun itu alasannya kalian tak boleh sembarang memukul. Kalian hanya merugikan orang jika seperti itu." Ucapku.
"Maaf kami salah."
"Maaf saja tak membuat temanku sembuh, tau!" Marah Reno.
"Hustt! Bagas, kamu maafin mereka?" Tanyaku.
***
Perlahan Bagas memajukan langkah. Kulihat tangannya mengepal, aku sedikit ragu dengan itu. Semalam aku sudah berunding dan menasihati teman-temanku agar tidak menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
Bagas menghela nafasnya, ia memegang pundak salah satu diantara empat orang itu. "Sudah lah tak apa. Aku memaafkan kalian." Ucap Bagas tulus.
Aku tersenyum senang, sementara beberapa temanku menganga tak percaya. Empat orang itupun menatap Bagas penuh arti. Mereka menyalami tangan Bagas.
Kurasa Nyonya Liz benar, menyelesaikan masalah tanpa kekerasan lebih baik. Bahkan kami jadi bisa menambah teman.
Ditulis oleh : Ragil Awalia A (XI IPS 1) SMAN 1 Pontianak
Proyek MID Semester Sejarah Minat Materi PD 1 dan PD 2
Tidak ada komentar