Pentingnya Pemimpin - Cerita Pendek

 Pentingnya Pemimpin - Cerita Pendek

Di Senin pagi yang cerah, Alfi sedang bersiap-siap untuk menuju ke kampus. Ia memakai celana dan mengenakan kausnya, serta memakai jam tangan yang ia kenakan di pergelangan tangan kirinya. Ia berkaca di kamarnya, melihat bahwa dirinya sudah siap untuk berangkat. Ia memasukkan beberapa buku, laptop, kotak pensil, dan powerbank ke dalam ranselnya.

Sebenarnya, kelas pertama Alfi akan dimulai pada menjelang siang nanti. Namun, ia sudah siap jauh lebih awal. Saat hendak berpaling ke meja di sebelah ranjang untuk mengambil ponselnya, tiba-tiba benda itu berdering, ia ditelepon oleh temannya.

Alfi : (Mengangkat telepon) "Ya? Kenapa, To?".

Tito : "Posisi di mana, Fi?".

Alfi : "Di rumah." (Sembari menutup resleting ranselnya).

Tito : "Oh, udah OTW?".

Alfi : "Belom, gua mulainya agak siang jam 11-an.".

Tito : "Yah, padahal ada yang mau gua omongin sama lu.".

Alfi : "Apaan, To?".

Tito : (Menghela napas). "Tapi lu jangan kaget, ya.".

Alfi : "Lah (tertawa kecil), kaget atau nggaknya gua 'kan tergantung topik bicara yang mau lu omongin.".

Tito : "Jangan kebawa emosi juga sama orang-orang yang bersangkutan. Eh, tapi pasti emosi sih.".

Alfi : "Gak tau dah, To. Kalo gak penting gua tutup, ya.".

Tito : "Eh iya iya, jangan ditutup."

Alfi : "Cepet, gua mau sarapan.".

Tito mengatakan kepada Alfi bahwa salah satu sponsor yang mendanai event mereka berubah pikiran dengan tidak menyetujui pemberian dana sesuai dengan nominal yang sudah disepakati yang sebagaimana tertera pada surat kerja sama mereka dan menyatakan akan memberikan dana dengan nominal yang lebih rendah. 

Pihak sponsor tersebut berubah pikiran dengan alasan bahwa atasan mereka baru melihat surat kesepakatan tersebut pada waktu melewati tanggal konfirmasi persetujuan. Tito mengabarkan pula bahwa Haikal dan Arno langsung menerima pernyataan dari pihak sponsor tersebut.

Alfi : (Mengusap wajah dan menghela napas) "Ah, kenapa jadi berantakan gini?!".

Tito : "Gua kecewa sih, harusnya pihak sponsor ngasih kepastian lebih cepet. Paling kecewa lagi sama Haikal dan Arno. Bisa-bisanya aja mereka main setuju tanpa diskusi sama kita." (Mengernyitkan wajah).

Alfi : "Kok pihak sponsor seenaknya aja belok arah dari kesepakatan? Dana yang kita minta ke mereka itu kan setimpal sama usaha kita nanti untuk ngejualin dan ngepromosiin produk mereka. Terus, atasan baru tahu tentang kerja sama ini tuh gimana? Emangnya humas mereka gak ngediskusiin ini ke atasan? Mekanisme kerja mereka gimana sih? Kesepakatannya kan bisa turun setelah ada persetujuan dari orang yang bertanggungjawab.". Ketus Alfi dengan nada kesal.

Tito : (Berpaling ke arah Haikal dan Arno, memberi isyarat dengan raut wajah emosi bahwa Alfi bereaksi marah dan tidak terima akan hal tersebut).

Alfi : "Ini baru aja respons dari pihak sponsor yang pertama, udah berantakan kayak gini."

Tito : "Sekarang lu dateng ke kampus, di sini udah ada Haikal sama Arno. Kita omongin ini bareng-bareng.".

Alfi : "Langkah pertama aja udah salah. Gua nyerah aja lah, To, gak semangat lagi mimpin ini." (Menunjukkan raut wajah lemas).

Tito : "Lah? Lu jangan gitu, dong. 'Kan kita udah kompromi dari awal pas penyusunan kepengurusan. Kita percaya sama lu, dan lu juga setuju, lu menyanggupi. Ayo, jangan main nyerah aja.".

Alfi : "Haikal sama Arno nih kenapa? Kok kayaknya dengan gampangnya aja mereka manjain sponsor?".

Tito : "Gini, mereka bener-bener minta maaf buat kesalahan itu. Sekarang, mereka mau lo untuk dateng dan ngomongin ini lagi.".

Alfi : (Langsung menutup telepon).

Haikal : "Gimana, To?".

Tito : "Ya begitu. Dia kesel, telepon langsung dimatiin.".

Arno : "To, gua sama Haikal bener-bener minta maaf, ya, buat kesalahan ini. Kita gugup selama proses nego di sana. Kita langsung iya iya aja, ngerasa makin dipepetin sama pihak sana.".

Tito : "Lu berdua harus teguh pendirian, dong. Emang bener sih mereka itu sponsor kita, kita minta dana sama mereka. Tapi, jangan karena mereka itu orang-orang yang kita mintain uang, kalian jadi ngerasa mau-mau aja ngikutin kemauan mereka. Lagian tuh, kita minta ke mereka 'kan bukan cuma sekadar minta-minta aja, kita juga ngelakuin sesuatu yang ngebawa keuntungan buat mereka dengan ngejual dan ngepromosiin produknya.". 

Haikal : "Iya, To. Maap banget, sekarang gua coba telepon Alfi dah.".

    Telepon Alfi berdering selama beberapa kali, ia ditelepon oleh Haikal dan Arno yang merasa bersalah. Alfi tidak mengangkat telepon, ia duduk di pojok ranjangnya dan terdiam, membiarkan ponselnya berdering hingga ponselnya berhenti berdering. Tidak lama kemudian, ia dipanggil oleh ibunya untuk menyantap masakan sarapannya. 

Mama : "Alfi, sarapan udah jadi! Ayo, makan.". Ucap Ibu agak keras.

Alfi : "Iya, Ma!". (Bergegas dari kamar tidurnya menuju ruang makan).

Mama : "Fi, nanti tolong bantu masukkin makalah historiografi dari meja depan ke dalam mobil, ya. Cuma ada dua makalah aja, itu punya murid-murid mama yang kemarin gak sempet dikoreksi di sekolah. Jadi, mama bawa pulang.". (Sambil meletakkan piring dan makanan ke atas meja makan).

Alfi : (Menarik kursi dari meja makan dan mendudukinya). "Iya, Ma." Sahutnya dengan ekspresi murung dari wajahnya karena masih terpikir akan kabar dari Tito tadi.

Mama : "Kamu tadi ditelepon ada apa sama temen kamu?" (Menarik kursi meja dan mendudukinya dan duduk sambil mengambil makanan ke piringnya).

Alfi : "Nggak, gak ada apa-apa." (Sembari mengambil makanan ke piringnya).

Mama : "Jangan gitu, dong. Cerita aja.".

Alfi menjelaskan seluruh kabar dari Tito kepada ibunya, mulai dari pihak sponsor yang seenaknya berbalik dari kesepakatan, respons yang buruk dari Haikal dan Arno, hingga rasa menyerahnya dalam proses perwujudan proyek acara tersebut.

Mama : "Mama setuju sama Tito. Kamu 'kan bagian dari tim, harusnya kamu juga ikut ngebahas solusi sama mereka untuk nyari jalan keluarnya.".

Alfi : "Biarin aja, Ma. Ini harusnya bisa diurus dari awal sama Haikal Arno, kalo mereka mikir kritis dan sadar 'kan kemungkinan besar gak akan begini. Dan kalo pihak sponsor dari awal nyikapin ini dengan atentif ujung-ujungnya gak akan begini.".

Mama : (Tertawa kecil sedikit) "Fi, itu konsekuensinya jadi bagian dari tim. Gimana pun keadaannya, selama ada tujuan yang harus diraih, ya kamu harus ambil bagian juga. Apalagi, kamu diposisikan sebagai ketua. Kamu memandu jalannya kegiatan itu. Kamu tahu gak, apa yang jadi sebab krusial meletusnya Perang Dunia I?".

Alfi : "Perebutan kekuasaan? Perang Dunia I 'kan awalnya barengan sama selesainya Revolusi Industri 2.0, pastinya bidang industri dan teknologi, yang kuat hubungannya sama kebutuhan perang, jadi penyebab penting munculnya rasa haus kekuasaan.".

Mama : "Bukan. Sebab krusialnya itu tewasnya Putra Mahkota dari Austria-Hungaria, Franz Ferdinand. Statusnya sebagai penerus takhta kerajaan itu ngejadiin dia sebagai figur pemimpin buat para pengikutnya. Kepergiannya jadi penyebab ketidakstabilan perdamaian sampai terjadilah penyerangan yang juga ikut menjerat banyak negara terbagi menjadi dua kubu.".

Mama : "Sekarang, kamu 'kan ketua buat tim kamu. Kalau kamu lepas tangan atau pergi, 'kan jadinya cuma malah memperburuk keadaan aja. Tim kamu bisa linglung karena gak ada yang ngebimbing mereka. Nanti bisa makin kacau dengan perbedaan pandangan dari dalam tim itu sendiri kalau gak ada pengawasan dari ketua.".

Alfi : "Bener juga sih, Ma. Tapi, kayaknya bakal baik-baik aja kalo pun aku gak ada disitu. Namanya manusia, beda jalan pikiran, wajar-wajar aja kalo beda pendapat.".

Mama : "Fi, di masa lalu, Perang Dunia II merupakan konflik paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia. Perang itu ditunggangi oleh perbedaan ideologi yang memecah belah keharmonisan dunia. Memang benar, jika perbedaan pendapat itu hal yang wajar. Namun, perbedaan ini akan menjadi ancaman yang dapat mencerai-beraikan tim kalau tidak ada penengah. Sebagai ketua, udah seharusnya kamu bertanggungjawab sama tim kamu. Jangan sampai perbedaan yang ada jadi alasan sulitnya pengintegrasian kelompok, kamu harus mampu ngejadiin segala perbedaan pandangan itu sebagai pelengkap antara satu dengan yang lainnya.".

Alfi : "Iya juga, ya. Mama bener...".

Mama : "Telepon lagi temen kamu, kabarin mereka kalau kamu mau ngebahas kelanjutan rencana acara itu.".

Alfi : "Iya, Ma, makasih buat masukannya, ya." (Beranjak dari ruang makan dan bergegas ke kamar untuk menelepon Tito).

Alfi : "Halo, To? Lu masih sama Haikal dan Arno?".

Tito : "Iya, Fi. Kalo lu beneran mau mundur, kita-".

Alfi : (Langsung memotong pembicaraan Tito) "Gua ke sana sekarang, ya, kita omongin ini bareng-bareng.".

Tito : "Oh, siap. Kita tunggu, Fi.".

Kesimpulan: Alfi diberi kabar oleh Tito bahwa salah satu sponsor melanggar kesepakatan kerja sama, namun Haikal dan Arno tidak dapat mencegah hal tersebut sehingga pihak sponsor tersebut memberikan dana dengan nominal yang lebih rendah dari kesepakatan sehingga Alfi sangat kesal dengan kacaunya sponsor tersebut dan ketidakcakapan dua orang temannya. Ibu Alfi menasihati Alfi agar terhindar dari kemungkinan akibat pecah-belah pada tim dan pupusnya persatuan seperti pada Perang Dunia I dan II. Menyadari bahwa hengkang dari kepengurusan acara malah akan memicu hal-hal yang lebih menyulitkan lagi, ia setuju untuk merundingkan masalah tersebut dengan teman-temannya. Dapat ditarik bahwa diskusi/berunding dengan mengutamakan kepala ialah cara menyelesaikan konflik yang baik.

Pesan moral: Pemimpin memegang peranan penting dalam menyatukan timnya, mereka mengemban tanggungjawab yang besar-baik kepada tujuan bersama yang ingin dicapai maupun kepada para pengikutnya. Mereka harus menjadi orang-orang yang penuh pertimbangan agar mampu untuk menentukan ke mana akan berjalannya suatu tim tersebut.

Ditulis oleh : Raden Rajendra Darmawan (XI IPS 1) SMAN 1 Pontianak

Proyek MID Semester Sejarah Minat Materi PD 1 dan PD 2

Tidak ada komentar