In Noctem - Cerita Pendek

 

In Noctem - Cerita Pendek

Pagi ini cuacanya panas sekali. Padahal jam baru menunjukkan pukul Sembilan pagi. Aku mendongak ke atas dan melihat tidak ada satupun awan yang menyelimuti langit. Matahari seolah-olah menampilkan keperkasaannya pagi ini. Aku pun memilih menepi mencari tempat yang teduh, cukup sudah jogging pagi ini.

Delapan putaran lapangan sepak bola telah aku lalui, keringat sangat deras merembes di badan. Ah… Tidak sabar ingin cepat-cepat sampai di rumah dan merasakan segarnya guyuran air di badanku. Aku duduk sebentar di bawah pohon mangga yang ada di halaman stadion menunggu cuaca teduh sedikit. Setengah jam aku berlalu, cuaca berangsur-angsur sejuk dengan semilir angin yang justru membuat aku sedikit mengantuk.

Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sekilas, ternyata sudah pukul sepuluh. Aku putuskan untuk segera pulang karena tiga jam lagi pesawat yang akan membawa ku ke ibu kota akan segera berangkat. Segera aku pergi ke parkiran untuk mengambil sepeda dan mengayuhnya menuju rumah.

Oh ya, perkenalkan namaku Putra, seorang mahasiswa dan sekarang sedang sedikit santai. Libur seminggu yang diberikan pihak universitas aku manfaatkan untuk pergi liburan dan melepas stress yang menumpuk selama mengerjakan soal-soal UTS kemarin. Kembali ke awal, aku sampai di rumah dengan banjir keringat dan langsung mendinginkan badan sebelum mandi.

Aku cek kembali jam yang melingkar di pergelangan tangan, ternyata sudah pukul setengah sebelas siang. Cepat-cepat aku pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri dari kotorang yang melekat selama aku jogging dan bersepeda tadi. Setelah selesai, aku langsung masuk ke kamar dang mengecek kembali barang-barang bawaanku sebelum pergi ke bandara nanti.

Jam 11 tepat aku sudah siap sedia dan langsung OTW ke bandara menggunakan ojek online. Penerbangan kali ini diperkirakan memakan waktu satu jam setengah sehingga aku lebih memilih membaca novel yang aku bawa untuk mengusir rasa bosan.

Singkat cerita, aku sampai di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pukul tiga sore, terlambat setengah jam dari perkiraan ku tadi. Setelah mengambil bagasi, aku langsung memesan taksi online untuk mengantarkan ku ke hotel. Aku berencana untuk istirahat saja hari ini dan lebih memilih hari esok untuk mengeksplor Jakarta. Selesai check-in, aku mendapatkan kamar di lantai lima dan aku pikir kamar ini sangat nyaman untuk ukuran hotel bintang tiga. Aku mungkin akan betah berlama-lama duduk di balkon sambil menikmati pemandangan di bawah. Selesai memindai seisi kamar, aku memutuskan untuk mandi dan langsung memilih rebahan untuk mengistirahatkan tubuh. 

Tak sadar aku pun terlelap tidur dan bangun keesokan harinya. Segera aku menuju kamar mandi untuk bebersih dan turun ke bawah untuk sarapan. Kembali aku mengecek itinerary yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk memastikan rencana liburan ini berjalan dengan baik. Setelah itu, aku kembali ke kamar dan mengganti baju bersiap-siap untuk menjelajahi Jakarta pertama kalinya.

Destinasi pertama yang ingin aku kunjungi adalah Perpustakaan Nasional yang terletak di Jalan Medan Merdeka Selatan, persis di selatan Monumen Nasional. Dari dulu memang aku ingin sekali pergi ke sini karena selama ini hanya bisa puas membaca buku di perpustakaan daerah saja. Selain itu, Perpustakaan Nasional dinobatkan sebagai perpustakaan tertinggi di dunia sehingga aku penasaran bagaimana suasana di dalamnya.

Dengan semangat, aku langsung masuk dan menuju lobby utama di lantai satu. Segera aku mencari papan informasi untuk mengetahui keterangan-keterangan pada setiap lantai agar tidak tersesat nantinya. Setelah puas menyerap informasi-informasi yang diberikan, aku langsung menuju lift dan menekan tombol 14.

Di lantai ini berisi koleksi buku-buku langka sehingga aku makin penasaran apa yang ada di dalamnya. Setelah sampai di lantai tujuan, aku mengawasi sekeliling yang ternyata sepi dari pengunjung. Hanya segelintir orang saja yang ada di lantai ini. Mungkin, orang-orang tidak cukup tertarik dengan koleksi yang ada di sini.

Segera aku masuk ke ruang koleksi buku-buku dan mencari bacaan yang cukup menarik. Setelah lama berkeliling, aku belum juga menemukan buku yang cukup menarik untuk dibaca. Banyak dari koleksi buku yang ada hanya berisi cerita-cerita sejarah yang cukup rumit untuk aku mengerti. Namun, saat sampai di pojok ruangan, aku menemukan satu buku yang sedikit menarik perhatianku saat itu. Bukunya sedikit usang, mungkin karena terletak di pojok sehingga sulit untuk orang menemukannya.

Judul yang tertera di sampul depannya berbahasa latin, In Noctem yang artinya adalah “di dalam kegelapan” dengan warna emas yang mencolok sehingga aku memutuskan untuk membawanya ke ruang baca. Aku membuka bukunya dengan perlahan dan ternyata isinya membahas tentang sejarah Perang Dunia 1 dan Perang Dunia 2.

Tak berlama-lama aku langsung masuk ke dalam alur cerita yang dituangkan. Hingga sampailah aku pada sebuah gambar yang menampilkan beberapa laki-laki di sebuah gerbong kereta. Tidak ada keterangan di bawah gambarnya sehingga membuatku kebingungan dan menebak-nebak siapa orang yang ada di dalam sana.

Saat aku ingin membalik kertas ke halaman selanjutnya, dalam sekejap mata mereka semua menghilang dari dalam gambar. Aku terkejut dan mengeceknya berulang kali ternyata beneran hilang dari dalam gambar. Seketika suasana di sekitar tempatku duduk menjadi hangat padahal AC di ruangan ini hidup semua. Aku merasa orang-orang di dalam ruangan ini tidak menyadari perubahan suasana yang terjadi cukup drastis.

Mereka terlihat santai dan masih melanjutkan bacaan masing-masing. Sepertinya hanya aku yang merasakannya tadi. Kembali pada lembar yang aku lihat sebelumnya dan orang-orang tadi masih tidak aku temukan di dalam gambar. Di tengah kebingungan tersebut, suasana yang hangat tadi membuatku sedikit mengantuk hingga tak sadar aku menjatuhkan kepalaku di atas gambar tadi dan jatuh tertidur.

Sebelum terlelap, aku melihat jam kembali dan di sana tertera pukul setengah sepuluh pagi. Mungkin aku masih kecapekan dengan perjalanan kemarin sehingga aku merasakan kantuk yang semakin lama semakin berat.

Saat nyaman-nyamannya terlelap, aku dibangunkan dengan berisiknya suara roda besi yang sedang berputar. Seketika aku langsung membuka mata dan menyadari aku sedang berada di dalam kereta yang melaju cukup kencang. Aku sudah pasti panik tentunya, tapi hatiku berkata untuk tidak berteriak dan tetap tenang duduk di kursi. Hal pertama yang aku lakukan adalah memeriksa gerbong yang aku masuki secara tidak sadar tadi dan ternyata hanya aku satu-satunya manusia di tempat ini.

Segera aku menoleh ke arah jendela di samping kanan. Sejauh mata memandang hanya hamparan padang rumput yang terlihat sehingga aku kembali fokus ke dalam kereta. Setengah jam menunggu, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang masuk dari gerbong depan sehingga membuatku sedikit terkejut. Perawakannya seperti orang eropa dan memakai seragam tentara yang cukup klasik. Dia berjalan mengarah tempatku duduk dan seketika aku terserang panik yang cukup membuat tubuhku bergetar.

Tanpa bertanya-tanya, dia hanya melewatiku begitu saja, bahkan dia tidak menoleh sedikitpun ke arahku seolah-olah aku tidak ada di sini. Melihat hal tersebut, reflek aku memanggilnya, tapi dia tidak bereaksi apa-apa dan langsung menghilang dibalik pintu yang ada di belakangku. Hingga kereta perlahan-lahan berhenti di tengah hutan cemara.

Seketika aku langsung berdiri untuk memastikan ada apa di dalam gerbong depan karena ketika aku melihat ekspresi tentara tadi, mimik mukanya menggambarkan ketidaksenangan. Aku membuka pintu dengan perlahan dan kudapati ada Sembilan orang di gerbong ini. Mereka semua memakai seragam tentara klasik dengan ekspresi muka tegang sehingga suasana di sekitarku cukup mencekam. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan karena terdengar seperti Bahasa Prancis di telingaku.

Namun, satu yang kutangkap adalah mereka sedang menandatangani suatu dokumen di atas meja. Ada satu orang yang aku kenali diantara Sembilan orang ini, dia adalah Ferdinand Foch, seorang tentara angkatan laut Prancis yang secara khusus terpampang di buku tadi. Dia mewakili Prancis dalam penandatanganan gencatan senjata dengan blok sentral di tengah hutan Compiegne, Prancis dalam sebuah kereta. Mungkin sekarang aku sedang berada di masa tersebut dan saat ini aku menyaksikan langsung penandatangan gencatan senjata antara blok sentral dan blok sekutu untuk mengakhiri Perang Dunia 1.

Pantas saja mimik wajah orang-orang disekitarku menampilkan raut tegang, rupa-rupanya ini adalah pertemuan antar negara yang terlibat dalam perang dunia 1. Setelah melakukan penandatanganan dokumen gencatan senjata, aku melihat mereka mulai beranjak dari tempat duduk mereka dan berjalan menuju pintu kereta.

Mereka sedang membentuk barisan dan kurasa saat ini mereka ingin berfoto bersama. Posisi mereka jadi mengingatkanku akan sesuatu. Ah..  Ternyata foto yang di buku tadi berisi orang-orang ini yang mewakili negaranya untuk mengadakan gencatan senjata dengan musuh. Dan satu hal yang masih membuatku bingung adalah bagaimana bisa di antara mereka tidak ada yang melihatku?

Kembali, suasana di tempatku berdiri terasa hangat. Padahal, perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 11 November 1918 seharusnya saat ini sudah musim gugur. Apalagi pintu kereta dibuka dan aku hanya memakai kaos tipis dengan celana jeans. Kejadian ini persis seperti di perpustakaan tadi sehingga mungkin aku akan kembali ke tempatku semula. Namun, ternyata perkiraan aku salah.

Disaat yang sama, aku seperti tersedot sangat kuat ke dalam sebuah lubang, bukan merasa ngantuk seperti di awal tadi. Dan disinilah aku saat ini, berdiri di tengah-tengah lapangan besar dengan sebuah bangunan megah berdiri gagah di depanku. Aku memperhatikan sekeliling untuk memastikan apakah orang-orang di sini menyadari kehadiranku dan ternyata benar bahwa mereka bersikap biasa saja yang artinya aku masih tidak terlihat oleh mata. Kesempatan ini aku manfaatnya dengan segera berjalan menuju bangunan yang seperti istana di depan sana karena mungkin buku itu ingin menunjukkan ku sesuatu di dalam istana itu. Terlihat bendera Prancis berkibar dengan gagah di depan pintu masuk istana, mungkin ini adalah Istana Versailles yang terkenal itu. Saat sampai di dalam, perhatianku teralihkan dengan kemewahan interior dari istana ini sehingga aku sedikit melupakan tujuan utamaku berada di sini.

Namun, perhatianku teralihkan dengan langkah sekumpulan orang di ujung lorong. Aku mendekat ke arah mereka untuk melihat secara jelas wajah mereka. Setelah mendekat, terlihat jelas bahwa terdapat empat orang yang tengah berdiskusi di sana. Melihat wajah mereka, aku kembali mengingat-ingat wajah-wajah tersebut, ternyata ada Perdana Menteri David Lloyd George dari Britania Raya, Perdana Menteri Georges Clemenceau dari Prancis, Vittorio Orlando dari Italia, dan Presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat. Mungkin saat ini aku akan menyaksikan penandatanganan Perjanjian Versailles.

Oh ya, aku teringat di dalam buku yang aku baca tadi, setelah perjanjian gencatan senjata antara blok sekutu dan blok sentral, masih terjadi peperangan di antara mereka sehingga untuk menegaskan penyelesaian perang ini, blok sekutu mengadakan pertemuan kembali di Istana Versailles, Prancis pada tanggal 28 Juni 1919. Namun, yang kuliah saat ini, tidak ada perwakilan Jerman maupun negara dari blok sentral. Segera aku mengikuti mereka yang akan masuk ke dalam sebuah ruangan.

Di dalam, mereka kembali berdiskusi secara alot mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi Jerman untuk mengakhiri perang ini. Dengan adanya perjanjian ini, maka Perang Dunia 1 secara resmi berakhir. Disaat yang sama aku berpikir apakah Jerman akan menyetujui perjanjian ini mengingat mereka tidak hadir dan syarat-syarat yang tadi dibacakan sungguh memberatkan.

Setelah semua dirasa selesai, masing-masing orang meninggalkan ruangan ini dan akhirnya hanya tersisa aku sendiri. Sekilas ruangan ini tampak mewah dengan kaca-kaca yang tertempel di dinding. Ditengah memperhatikan sekeliling, udara di sekelilingku menjadi hangat. Perlahan namun pasti kantuk kembali menyerangku dan kembali aku terlelap dengan sendirinya di lantai ruangan ini.

Telingaku kembali menangkap suara orang-orang berbicara satu sama lain sehingga membuatku terbangun dan menyadari bahwa aku telah kembali ke ruang baca di perpustakaan tadi. Aku sedikit kebingungan dengan kondisi yang barusan aku alami tadi sehingga aku termenung sesaat. Bunyi suara buku jatuh di dalam ruangan menyadarkanku dari lamunan. Kembali aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku dan sekarang menunjukkan pukul 09.31. Lagi-lagi aku terkejut, bagaimana bisa aku hanya terlelap selama satu menit sedangkan kejadian tadi berlangsung sangat lama. Bahkan, aku berada pada dua dimensi yang berbeda. Tak ingin memikirkannya lebih lanjut, aku memilih untuk melanjutkan bacaanku yang tertunda tadi dan sekarang kulihat orang-orang yang ada di dalam foto sudah kembali.

Mungkin mereka ingin mengajakku untuk melihat suasana dari akhir Perang Dunia 1. Kali ini, halaman yang kubaca selanjutnya menampilkan sejarah tentang Perang Dunia 2, mulai dari latar belakang, penyebabnya, dampak, dan yang terakhir penyelesaian konflik. Tak terasa aku sampai di penghujung buku dan tidak terjadi apa-apa dengan suasana di sekitarku.

Karena tidak tahu ingin melakukan apa lagi di perpustakaan ini, aku memilih untuk menyudahi kunjunganku di Perpustakaan Nasional. Saat keluar gedung, matahari bersinar sangat terik sehingga aku memutuskan kembali ke hotel berencana untuk tidur siang dan melanjutkan eksplorasi kota Jakarta di sore harinya.

Sesampainya di dalam kamar, aku segera membersihkan diri dengan membasuh muka, mencuci tangan dan kaki. Saat akan menuju kasur, suasana di sekitarku tiba-tiba menjadi hangat dan kantuk itu langsung menghantam ku tanpa ampun. Segera aku menuju kasur yang menggoda ku di depan sana untuk segera merebahkan diri dan tanpa hambatan yang berarti aku jatuh tertidur. Kejadian ini terjadi lagi dan sekarang aku berada di Jerman yang ditandai dengan banyaknya bendera Jerman yang berkibar di atas rumah penduduk.

Kondisi kotanya lumayan sepi dan banyak dari mereka memiliki wajah murung seakan-akan tidak memiliki semangat hidup. Setelah berjalan cukup lama, sampailah aku di depan sebuah bangunan yang menyerupai balai kota. Aku melihat penanda di atas pintu masuknya dan benar dugaanku bahwa bangunan ini adalah balai kota Potsdam, Jerman sehingga aku tahu dimana aku saat ini.

Dari buku yang kemarin aku baca, Potsdam adalah kota yang digunakan blok sekutu untuk menandatangani berbagai perjanjian tentang berakhirnya Perang Dunia 2 yang salah satunya berisi tentang kekalahan Jerman dimana perjanjian itu ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Joseph Stalin , Presiden Harry S. Truman , dan Perdana Menteri Inggris Clement Attlee. Di buku itu juga, selain berisi tentang Jerman, perjanjian-perjanjian yang ditandatangani juga berisi tentang penyerahan Jepang dari Perang Dunia 2.

Mungkin saat ini, mereka ingin aku menyaksikan penandatanganan perjanjian-perjanjian yang ditandatangani di kota ini.

Setelah memikir kembali apa yang akan terjadi di kota ini, langkahku terbawa pada sebuah gedung yang tak dikenal sama sekali di seberang balai kota. Karena rasa penasaranku yang tinggi, aku memilih untuk masuk dan mendapati Stalin, Truman, dan Attlee sedang berjalan menuju suatu ruangan. Aku mengikuti mereka dan menyaksikan secara langsung penandatanganan Perjanjian Postdam untuk mengatur Jerman yang kalah dari Perang Dunia 2. Mereka membentuk kesepakatan-kesepakatan tentang nasib Jerman kedepannya demi kebaikan mereka bersama.

Di saat yang bersamaan, Potsdam juga menghasilkan sebuah deklarasi tentang nasib Jepang yang kalah pada Perang Dunia 2 di kawasan pasifik. Mendengar deklarasi itu, aku teringat bahwa Jepang mengabaikan isi dari deklarasi dan masih terus berperang dengan sekutu di kawasan pasifik. Dan seperti yang kalian tahu, bahwa akibat dari tindakan Jepang tersebut, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang membuat mereka langsung menyerah tanpa syarat.

Setelah rangkaian peristiwa di depanku berakhir, aku memilih untuk keluar dan menikmati sebentar kemewahan yang ditawarkan oleh bangunan ini. Baru kusadari kalau bangunan ini adalah Istana Cecilienhof yang sangat megah di Potsdam. Di tengah rasa kekagumanku, rasa itu kembali hadir dan itu artinya ini adalah peristiwa terakhir yang aku saksikan mengenai perjalanan perang paling hebat pada abad 20. Lagi, aku langsung terbaring di lantai dan jatuh terlelap.

Aku terbangun karena suara hujan yang cukup deras di luar sana. Jam masih menunjukkan pukul 12 dan kali ini aku tidak terkejut mengingat di perpustakaan tadi aku juga mengalami kejadian yang sama. Suasana sejuk akibat hujan ditambah AC yang menyala cukup dingin membuatku enggan beranjak dari kasur sehingga kuputuskan untuk tidak kemana-mana sampai esok hari. Aku kembali mengingat pertemuan dengan buku jadul tadi di perpustakaan. Sesuai dengan judulnya, bahwa perang adalah penanda bahwa hari-hari di dunia akan memasuki masa kegelapan yang sangat mengerikan.

Buku itu juga mengingatkanku bahwa perang adalah sesuatu yang sebisa mungkin dihindari agar kegelapan tidak akan datang di kehidupan manusia. Karena itu, aku bersyukur menemukannya sebab aku mendapatkan pengalaman yang sangat mengesankan tentang berakhirnya perang-perang besar pada abad 20.

Pesan Moral: Dari cerita ini mengajarkan kita untuk senantiasa belajar dari kisah masa lalu dan mengambil setiap pelajaran yang bermanfaat untuk kita saat ini agar peristiwa yang terjadi pada saat itu, tidak menimpa kita pada saat ini maupun kedepannya nanti. In Noctem mengajarkan bahwa setiap kegelapan selalu ada setitik cahaya di dalamnya untuk kita terus berharap yang lebih baik.

 Ditulis oleh :  (XI IPS 1) SMAN 1 Pontianak

Proyek MID Semester Sejarah Minat Materi PD 1 dan PD 2

Tidak ada komentar