Cerita Rakyat Kalbar : Asal Usul Sungai Kawat

Pada jaman dahulu hiduplah seorang nelayan yang miskin bersama istri dan anak-anaknya. Pekerjaan sehari harinya hanya mencari ikan di sungai untuk makan. Walaupun ia miskin dan pengangguran, ia selalu giat dengan pekerjaannya.

Disuatu pagi sang nelayan berpamitan dengan istrinya untuk bekerja. Istrinya berkata memiliki firasat yang tidak baik, dia menyuruh agar suaminya untuk cepat pulang.

“Aku pergi memancing dulu istriku.” Ucap nelayan. “Aku memiliki firasat buruk hari ini, cepatlah kau pulang sebelum matahari terbenam.” Pesan istrinya. Sang nelayan mengangguk dan pergi meninggalkan rumah.

Sang nelayan sudah mulai menyusuri sungai dengan sampan yang diwariskan oleh ayahnya, sampan itulah satu-satunya harta yang ia miliki. Ia mulai melemparkan umpannya ke tengah sungai berharap ikan akan memakan umpannya.

Hari sudah hampir siang tetapi kailnya masih belum ada pergerakan sama sekali, ia mulai merasa lelah tapi tetap tidak menyerah. Ia memilih menunggu sampai sore karena ia tidak ingin anak dan istrinya kelaparan.

Matahari sudah terbenam dan nelayan itupun sudah mengelilingi sungai, tetapi ia tetap tidak mendapatkan satupun ikan.Nelayan melupakan pesan sang istri karena dia merasa sedih memikirkan anak istrinya, akhirnya dia memilih untuk tetap menunggu walaupun sampai pagi demi membawa pulang ikan.

Nelayan itu melemparkan kailnya untuk kesekian kali, dan kembali menunggu. Sesaat kemudian kailnya bergerak ia pun dengan semangat menarik kailnya karena mengira ikan yang tersangkut. Saat diangkatnya ke atas yang dia temui bukanlah ikan melainkan kawat. Ia sudah ingin membuang kawat itu dan memilih untuk pulang. Saat akan membuang kawat itu, ia melihat kawat itu bersinar seperti emas.

Kawat itu menarik perhatiannya. Sang nelayan mencoba menarik kawat emas itu perlahan, tetapi kawat itu sangat panjang. Dia merasa sampannya mulai berat tetapi ia masih penasaran dengan kawat yang tidak putus putus itu.

Hari semakin malam, nelayan mendengar bisikan yang menyuruhnya untuk berhenti menarik kawat dan pulang. “Pulanglah wahai manusia hari sudah semakin malam, anak dan istrimu menunggu dirumah.” Ucap suara itu. Dia melihat sekeliling tak ada seorangpun hanya dirinya sendiri, ia memilih mengabaikan bisikan itu karna ia mengira itu hanya imajinasinya saja.

Nelayan itu mulai merasa lelah, sampan yang dinaikinya juga mulai penuh dan akan tenggelam tapi ia tetap ingin menarik kawat itu. Suara itu berbisik lagi menyuruhnya berhenti dan mengatakan kawat yang diambilnya sudah sangat cukup. “Wahai nelayan berhentilah menarik kawat itu, kau tak perlu mengambil sebanyak itu sepotong kawat saja sudah sangat cukup untuk kehidupanmu.”

Mendengar hal itu, keserakahan menguasai jiwa nelayan. Dia berfikir jika dia mengambil lebih banyak kawat yang ia ambil maka akan semakin kaya dirinya. Karena keserakahan itu dia melupakan anak dan istrinya dirumah. Ia terus menarik kawat itu tanpa sadar bahwa sampannya akan tenggelam, kakinya juga sudah terendam air karena sampan yang sangat berat. Sampan yang sudah tak kuat menahan beban itupun tenggelam bersama dengan nelayan yang serakah.

Hari sudah pagi sang istri yang menunggu suaminya seharian kebingungan, mengapa suaminya belum pulang dari kemarin. Istri dan anaknya memutuskan untuk menyusul suaminya. Saat melewati perkampungan, mereka mendengar warga bercerita ada mayat yang terapung disungai.

Sang istri bertanya kepada warga mayat siapa yang ada sungai, tapi tidak ada satupun warga yang menghiraukannya. Dengan bersedih sang istri dan anak berjalan menuju sungai.

Sesampainya disungai dia tidak menemukan seseorangpun disana, tetapi dikejauhan samar samar anaknya melihat ada orang diujung sungai. 

“Ibu lihat, disana ada yg sedang berenang. Apakah itu ayah bu?” sang anak berkata sambil menunjuk ujung sungai.

Sang istri dan anak memutuskan untuk pergi ke ujung sungai, betapa terkejutnya ia ketika sampai disana. Mayat suaminya yang telah terbujur mengambang ditepi sungai itu. Firasat yang dirasakannya ternyata benar. Ia melihat tangan suaminya yang masih memegang kawat berkarat itu. Karena peristiwa itu sungai tempat sang nelayan meninggal disebut sungai kawat, yang saat ini berada di Sintang.

Pesan moral yang dapat kita ambil dari cerita ini adalah  jangan serakah dengan apapun yang kita miliki karena keserakahan itu dapat membunuh kita sendiri.

Ditulis Oleh: Adelia, Siswi SMAN 1 Pontianak

Narasumber: Mardiana, 49 Th

Proyek Penilaian Tengah Semester Sejarah

Tidak ada komentar