Pada
zaman dahulu, konon di sebuah kampung yang terletak di wilayah pehuluan Kota
Ngabang sekarang, hiduplah seorang janda dengan seorang anak perempuannya yang
memiliki paras rupa yang jelita dan sangat mempesona. Sejak kematian suaminya,
wanita separuh baya itu hidup berdua dengan anak satu-satunya.
Semakin
menanjak usia remaja, rupa anak gadis tersebut semakin cantik. Karenanya, di
kampung tempat mereka tinggal, anak gadis tersebut dikenal sebagai kembang di
kampungnya.
Sehari-harinya,
sang ibu bekerja merajut membuat tudung hias atau tudung saji. Inilah pekerjaan
para wanita yang secara turun-temurun hingga saat sekarang dilakukan di
Ngabang. Selain itu, sesekali waktu ada pula yang membayar upah kepada sang ibu
untuk memanen padi pada musim panennya.
Sampailah
pada suatu saat sang ibu harus berangkat ke ladang dan meminta anaknya, Darmi
untuk menggoreng ikan. “Darmi, Ibu harus segera berangkat ke ladang. Tolong
gorenglah ikan-ikan ini,” kata sang ibu. Darmi yang sedang menyisir rambutnya
pun terkejut dan berkata,”Tidak mau bu! Jika aku menggoreng ikan nanti tanganku
yang mulus akan terluka terkena minyak panas. Pokoknya sebelum berangkat ibu
harus menggoreng ikan ini!” Akhirnya ibunya pun terpaksa menuruti keinginan
anaknya.
Selalu begitu, Darmi tidak pernah membantu ibunya. Ibunya harus bekerja keras untuk memenuhi kehidupan mereka. Semua pekerjaan pun dilakukannya. Tak heran, sang ibu tampak lebih tua dari usianya. Kulitnya hitam dan keriput karena terbakar sinar matahari.
Berbeda dengan Darmi yang tidak pernah membantu ibunya, ia
memiliki rambut hitam yang lebat, hitam, dan jika terpapar sinar matahari rambutnya
berkilauan. Kulitnya putih mulus dan pipinya bersemu merah. Tetapi, ia adalah
anak pemalas. Setiap hari yang ia lakukan hanya berdandan dan melihat dirinya
di depan cermin. Ia berharap, suatu saat akan ada pemuda kaya yang meminangnya
karena ia bosan hidup miskin.
Setelah pulang memanen padi di ladang, ibunya Darmi menghitung upahnya. Darmi yang melihat itu langsung mendekati ibunya dan berkata dengan manja.
”Bu... belikan aku bedak. Bedakku sudah habis”.
Ibunya menjawab,”Iya belinya besok ya. Kita pergi ke pasar.”.
Mendengar hal itu Darmi sontak berkata,”Tidak mau bu! Ibu saja yang belikan ke pasar. Nanti kulitku akan hitam dan kering jika pergi ke pasar”.
Ibunya
berkata dengan sabar, ”Nak, ibu tidak tahu toko yang mana yang menjual bedak
yang kamu mau, jadi kamu ikut saja ya.” Dengan terpaksa Darmi pun akan ikut ke
pasar.
Keesokan harinya, Darmi berdandan dan membawa payung, lalu pergi ke pasar bersama ibunya. Pada hari itu, pasar sedang ramai sekali.
“Bu, minggir sedikit agak ke
belakang” bisik Darmi tiba-tiba. “Apa? Ibu tak dengar Nak,” jawab Ibu.”Minggir
ibu! Jangan dekat-dekat aku. Ibu jalan di belakangku saja Aku tak mau
orang-orang melihatku berjalan bersama ibu,” ketus Darmi.
Ibunya
terkejut. Hatinya sakit mendengar perkataan anaknya. Namun ia kemudian melihat
dirinya sendiri. ”Ya ampun, memang bajuku jelek dan kusam. Aku juga belum mandi,
pantas saja Darmi tak mau dekat denganku,” batin Ibu. Akhirnya Ibu Darmi pun
mengalah dan berjalan di belakang Darmi.
Tiba-tiba di tengah jalan ada seorang perempuan yang merupakan teman Darmi. Ia menghampiri Darmi dan bertanya,”Hai Darmi. Kamu mau ke mana?”.
Darmi menjawab, ”Aku
mau ke toko kosmetik, mau membeli bedak.” Teman Darmi yang melihat Ibunya Darmi
dengan pandangan bertanya,”Dia siapa darmi? Ibumu ya?” Darmi yang tidak ingin
temannya tahu jika dia mempunyai ibu yang kotor dan jelek segera menjawab,”Oh...
ini pembantuku, tentu saja bukan Ibuku. Ih amit amit deh.” Betapa sedihnya sang
ibu mendengarnya, namun ia hanya ditahannya di dalam hati.
Setelah melanjutkan perjalanan, terdengar teriakan,”Hei Darmi. Kamu mau ke mana? Wah, lama sekali tak berjumpa denganmu.” Darmi menoleh.
Ternyata itu teriakan penjual kan langganannya. “Aku hendak membeli bedak. Sekalian mau membeli sabun.” jawab Darmi riang. “Oh, tumben kau diantar oleh ibumu?” tanya Si penjual kain lagi. Dengan segera Darmi langsung menjawab.
“Bukan, dia bukan
ibuku, tetapi pembantuku,” ucap Darmi. Hati sang ibu semakin sedih melihat
anaknya yang begitu tega, mengakui dirinya sebagai pembantu. Namun sekuat
tenaga dia berusaha menahannya.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan, Darmi bertemu dengan seorang laki-laki yaitu temannya yang lain. “Darmi kamu mau ke mana?” tanyanya.
“Aku mau ke toko kosmetik,”
jawab Darmi. Lalu temannya kembali bertanya kepada Darmi, “Ngomong-ngomong
siapa yang di belakangmu? Dia ibumu?” Segera Darmi menjawab seperti sebelumnya, “Bukan di itu pembantuku.”
Kemudian
ada banyak orang yang bertegur sapa dengannya. Ketika banyak orang mendekat
kepada mereka, kepada orang-orang itu Darmi berkata, “Dia ini bukan ibuku
tetapi pembantuku!” Mendengar hal tersebut diucapkan anaknya, betapa hati
ibunya itu sendiri seakan tersayat-sayat.
Ibu
Darmi tak kuasa menahan air matanya, dia sudah sangat tidak tahan lagi dengan
perlakuan Darmi kepdanya. Maka dia pun berdoa dalam hati, “Ya Tuhan, hamba
sudah tidak kuat lagi dengan sikap anak hamba. Tolong hukumlah dia agar menjadi
jera.”
Setelah selesai berdoa, tiba-tiba langit menjadi mendung, kemudian berangsur gelap gulita, angin berhembus semakin kencang, dan kilat pun sambar menyambar.
“Aaaaaaaaaaahhhhh....
ibu kenapa aku? Ada apa dengan kakiku? Kenapa tidak bisa digerakkan lagi? Ibu
tolong aku ibuuu!” teriak Darmi. Sedikit demi sedikit Darmi pun menjadi batu,
ibunya hanya bisa menangis pilu. “Maafkan ibu, nak. Ini semua karena
perlakuanmu terhadap ibu,”ucap ibu sambil menangis.
“Ampun bu...ampun...ampun bu... Darmi tidak akan mengulanginya lagi,” ucap Darmi.
Darmi menangis dan merintih kesakitan sambil meminta ampunan kepada ibunya. Darmi
tetap menjadi batu dan harus menanggung hukuman atas perbuatannya karena
durhaka terhadap ibunya, yang sudah merawat, menafkahi, dan menjaganya hingga ia
besar.
Beberapa
saat kemudian, keadaan alam pun berangsur pulih kembali. Atas kedurhakaannya, Darmi
telah mendapat hukuman. Batu Darmi itu lalu dipindahkan oleh orang-orang dan
disandarkan di tebing hingga sekarang dan batu itu dinamakan Batu Menangis.
Pesan
moral yang dapat diambil dari cerita rakyat Batu Menangis yaitu sebagai anak
harus menolong orang tua ketika kesulitan, jangan menyakiti hati orang tua baik
itu secara lisan maupun perbuatan, serta hormatlah orang tua yang sudah menjaga
dan merawat kita hingga besar.
Ditulis Oleh: Ashiila Al Eifa Arisanto, Siswi SMAN 1 Pontianak
Narasumber: Santoso Achyar, 70 Th
Proyek Penilaian Tengah Semester Sejarah
Tidak ada komentar