Cerita Kakek - Cerita Pendek


Di malam yang tenang, kakek bercerita panjang lebar tentang perjuangan kerajaan kami yang dahulu sempat berperang dengan kerajaan seberang. Sebenarnya, perang ini sudah menjadi sejarah yang tak terlupakan bagi kerajaanku dan sudah diceritakan berulang kali dimana-mana. Tetapi, aku dan kedua saudaraku yang lainnya sangat ingin tahu cerita dari perspektif seorang panglima perang pada masanya, yaitu kakek kami sendiri yang sekarang akan mulai menceritakan kisahnya kepada kami.

Kakek awalnya bingung dan berkata, “Kalian pasti sudah tahu cerita perang antara kerajaan kita dengan kerajaan seberang dari awal sampai akhir. Kakek jadi bingung mau menceritakannya dari mana.”

“Yaudah, kalau gitu dari awal mula kakek mendengar kabar bahwa kerajaan seberang memutuskan untuk berperang dengan kerajaan kita aja kek. Kemudian saat mendengar kabar itu apa yang kakek lakukan?” tanya saudara perempuanku.

“Hmm... Jadi, saat pertama mendengar pernyataan perang dari kerajaan seberang, hal pertama yang kakek lakukan adalah memastikan bahwa kabar tersebut benar atau tidak. Awalnya kakek lumayan meragukan pernyataan perang tersebut karena kakek rasa hubungan antara kerajaan kita dan kerajaan seberang sedang damai-damai saja. Tetapi kakek salah, ternyata ada perselisihan yang cukup besar diantara dua kerajaan ini yang tentunya sangat fatal dan menyebabkan peperangan yang tak terlupakan.” Jelas kakek.

Usai penjelasan singkat kakek, aku pun bertanya, “Lalu, kenapa kakek bisa menjadi panglima perang padahal saat itu usia kakek masih terbilang cukup muda?”

“Ha ha ha... Pertanyaan yang bagus! Benar sekali, saat perang dimulai, usia kakek sekitar 23 tahun dan usia tersebut masih tergolong sangat muda untuk menjadi seorang panglima perang. Tetapi, tentu saja kakek tidak langsung menjadi panglima perang. Seperti yang kalian ketahui, perang itu terjadi dari tahun 1939 sampai 1945. Selama 6 tahun perang itu berlangsung, kakek baru diangkat sebagai panglima perang pada tahun 1943. Saat itu usia kakek sekitar 27 tahun dan masih terbilang usia yang sangat muda juga untuk menjabat sebagai panglima perang. Tetapi, perang yang dihadapi saat itu tidaklah memandang usia untuk sekadar memilih seorang panglima perang. Kerajaan dengan sangat darurat membutuhkan seorang pemimpin yang kompeten dan pada saat itu, sang panglima perang kerajaan telah gugur dalam peperangan yang sengit di suatu malam. Semenjak saat itu, kakek pun ditunjuk sebagai panglima perang selanjutnya.” Jawab kakek atas pertanyaanku.

Kakek meminum kopinya sebentar, memberi jeda sesaat. Aku pun dengan penasaran bertanya lagi kepada kakek.

“Selama menjadi panglima perang, apa saja suka dukanya, kek?”

“Wahh… Banyak sekali, terutama bagian dukanya. Kalian bayangkan saja, sekitar 10 juta orang mati militer, 7 juta kematian warga sipil, 21 juta terluka, dan 7,7 juta hilang atau dipenjara. Lalu, melihat saudara dan teman-teman seperjuangan gugur di medan perang. Sungguh tak ada yang lebih menyakitkan dibanding melihat pemandangan ‘lautan darah’ saudara-saudara kita yang gugur dalam peperangan. Belum lagi perang tersebut sudah menggunakan tenaga nuklir dan rudal, konsep modern tentang operasi rahasia dan khusus. Kapal selam dan tank juga lebih banyak digunakan. Bahkan kode enkripsi untuk komunikasi rahasia menjadi lebih kompleks. Bahan pangan juga sangat susah untuk didapatkan. Kami para tentara tidak jarang cuma makan sekali dalam seharinya. Kelaparan ada di mana-mana dan semuanya serba sulit. Yang jelas, sebagai panglima perang, kehilangan 1 prajurit saja sudah sangat menyakitkan. Tetapi, itulah bentuk dari suatu pengabdian terhadap kerajaan yang sangat terhormat dan patut untuk dihormati, kami rela mempertaruhkan nyawa kami demi kerajaan.” Jawab kakek.

“Lalu bagian suka-nya apa kek?” tanyaku yang merasa belum puas dengan jawaban kakek.

Kakek kaget karena lupa dengan pertanyaanku dan berkata, “Oh iyaa… Kakek lupa kalau kamu menanyakan tentang suka duka hahaha. Oke, kalau sukanya palingan tentang kebersamaan dengan tentara-tentara yang lain. Sungguh, kami sudah seperti saudara yang saling peduli satu sama lain dan tentunya rasa kekeluargaan di antara kami begitu kental. Tak ada yang bisa mengalahkan hangatnya canda tawa kami. Setiap hari kami selalu memandang mata satu sama lain dengan sangat dalam, karena kami tau, bisa saja itu terakhir kalinya kami menatap mata satu sama lain. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi 1 jam atau bahkan 5 menit kedepan, entah ada musuh yang tiba-tiba menyerang dengan ganas atau apapun itu. Jadi, setiap ada waktu luang, kami selalu memanfaatkannya sebaik mungkin dan melupakan sejenak tentang perang yang tengah terjadi.”

Kakek kembali meneguk kopinya yang hampir habis, kemudian kembali melanjutkan ceritanya.

“Lalu, yang paling membahagiakan adalah di saat perang telah berakhir. Saat semua perselisihan telah usai, rasanya beban di pundak seketika terangkat. Rakyat dan tentunya semua warga kerajaan akhirnya bisa tersenyum dengan lega. Perlahan, masa-masa krisis makanan dan banyak bangunan yang hancur pun seketika mulai membaik meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali bangkit seperti sedia kala. Tetapi tidak apa-apa, setidaknya perjuangan para tentara yang telah gugur sudah terbayarkan dengan perdamaian antar kedua kerajaan yang telah berperang selama 6 tahun berturut-turut ini. Tetapi, untuk mencapai titik perdamaian di antara kedua kerajaan ini tentunya tidak mudah. Sebelumnya, para pemimpin kerajaan kita sudah lama mengusulkan untuk berbincang damai dengan pemimpin kerajaan seberang. Tapi usulan tersebut selalu ditolak mentah-mentah oleh mereka. Entahlah, pada saat itu kakek juga heran, kenapa pihak lawan tidak pernah ingin berdamai padahal kedua kerajaan ini sama-sama menderita. Sampai akhirnya, entah apa yang merasuki sang pemimpin kerajaan seberang tersebut, mereka tiba-tiba mengusulkan untuk berbincang dengan pemimpin kerajaan kita. Kemudian, setelah 3 kali pertemuan perbincangan yang di adakan oleh para pemimpin kerajaan, akhirnya perdamaian pun tiba. Seluruh rakyat sangat senang mendengar kabar tersebut karena perdamaian adalah impian kami pada saat itu.”

“Sebenarnya ada ga yang bisa dipelajari dari perang ini, kek?” tanya saudaraku.

“Sebelumnya, kakek punya sedikit kesimpulan tentang perang ini, yaitu kurangnya komunikasi antar kerajaan. Pada saat itu, para pemimpin masih belum bisa berpikir jernih dan terbakar emosi. Dan selama 6 tahun itu juga, para pemimpin masih terlalu gengsi untuk sekadar berbincang tentang perselisihan tersebut. Tetapi, saat kerajaan kita sudah meredakan ego dan mengusulkan untuk berbincang dengan pihak lawan, sayangnya pihak lawan masih memiliki ego yang selangit. Padahal semuanya bisa langsung tuntas setelah diadakannya 3 kali pertemuan antar pemimpin kerajaan. Pesan moral yang bisa diambil adalah jangan pernah terlarut dengan ego kita sendiri dan jangan pernah menyepelekan komunikasi, karena komunikasi adalah hal yang terpenting dalam kehidupan sosial. Jika tidak ada komunikasi yang baik, maka akan mudah pula kesalahpahaman itu muncul. Oke, ceritanya sudah cukup, ini sudah mulai larut malam, ayo masuk ke kamar masing-masing dan tidur.”

“Wahh, benar juga ya, komunikasi itu sangat penting. Okelah kek, kami akan langsung ke kamar dan tidur.”

Aku dan kedua saudaraku pun langsung bergegas ke kamar masing-masing dan langsung tidur.

 Ditulis oleh : Roro Ayu Rahmadhani (XI IPS 1) SMAN 1 Pontianak

Proyek MID Semester Sejarah Minat Materi PD 1 dan PD 2

Tidak ada komentar