Mengenal Tenun Tradisional Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik



Kearifan budaya sejatinya menjadi identitas yang harus selalu ada dan dilestarikan apapun bentuknya. Seperti halnya dengan tenun yang menjadi sebuah kebanggaan bagi masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yang hingga saat ini terus konsisten menenun dengan cara tradisional serta memanfaatkan berbagai alat dan bahan dari hutan yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat disana.

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik mempercayai bahwa  kemampuan menenun suku Iban diajarkan oleh orang dari panggau (khayangan). Setelahnya, pengetahuan tersebut ditransfer dari generasi ke generasi hingga saat ini.

Ibu Samai (59), salah seorang penenun dari suku Dayak Iban mengetahui ilmu menenun dari sang kakak dan terus diturunkannya kepada anak dan kerabat hingga kini. Menurutnya, dahulu proses menenun dilakukan dengan menggunakan benang dari kapas secara tradisional yang diolah sendiri dari hasil hutan, namun kini telah digunakan benang modern yang diperoleh dari pabrik yang sebelumnya telah disterilisasi terlebih dahulu agar kesan alami tetap ada.

Sebagian besar alat dan bahan tenun diambil dari alam, oleh karenanya masyarakat Dayak Iban sangat merawat alam yang dimilikinya. Darisana, berbagai jenis dan model tenun dapat dibuat.


Tenun di Sungai Utik sudah mulai dikenal dan dipromosikan sejak tahun 1998. Konsumennya juga tidak main-main. Selain masyarakat Kapuas Hulu dan Kalimantan Barat, tenun tradisional ini juga telah dipasarkan hingga kota-kota besar di Indonesia. Bahkan, Malaysia, Inggris dan negara maju lainnya tidak luput menjadi konsumennya.


Menenun bukanlah menjadi pekerjaan utama para perempuan Iban Sungai Utik. Biasanya, proses pembuatan tenun biasa dilakukan sembari mengerjakan pekerjaan lainnya seperti berladang, berkebun, mengurus rumah tangga dan lain sebagainya.

Seperti diketahui, tenun tradisional Dayak Iban Sungai Utik sangatlah beragam. Begitu pula dengan proses pembuatannya, ada yang dapat dikerjakan lebih cepat dan ada pula yang memerlukan waktu lama. Untuk membuat motif ribai dan naga, proses pengerjaan bisa sampai dua tahun lamanya. Hal ini karena cukup lama dalam proses pewarnaan yang harus dilalui. Adapun proses pewarnaan ini dapat menggunakan daun kerebai, kulit kayu sebangki, dan mengkudu.


Menenun juga tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Perlu diadakan ritual sebelumnya yang sejak dulu terus dilakukan hingga kini. Untuk ritual, bagi jenis tenun sederhana biasanya perlu menggunakan kapur dan sirih yang sebelumnya juga telah diputarkan pada alat tenun sebanyak tujuh kali.

Ritual yang dilakukan dalam proses pembuatan tenun memerlukan berbagai alat yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat kayangan dahulu. Beberapa bahan sesajian tersebut antara gambir, kapur sirih, dan lain sebagainya yang diberikan sebagai sesaji kepada leluhur.

Ibu Samai menuturkan, apabila tidak melakukan proses ritual, biasanya akan ada kesulitan dalam proses pembuatan tenun yang dilakukan oleh penenun. Masyarakat Sungai Utik percaya, proses pembuatan tenun selalu didampingi oleh masyarakat kayangan sehingga sesaji juga harus selalu disiapkan terlebih dahulu .

Makna dan Fungsi Jenis Tenun Tradisional Dayak Iban Sungai Utik

Tenun Dayak Iban terbagi menjadi enam jenis, di antaranya: kebat atau tenun ikat, songket, pileh amat, pileh selam, subak, sidan. Adapun makna dari beberapa tenun tradisional Dayak Iban Sungai Utik, yaitu:

  Motif kenyalang (Kebat)

  Motif Naga (Sungkit)

  dibuat dengan sesajian atau ritual. Apabila tidak dilakukan menurut kepercayaan masyarakat Dayak Iban dapat menyebabkan sakit bahkan meninggal dunia.

  Motif Lelambak (Subak)

  motif ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kreatifitas dan perkembangan zaman saat ini.

Rusah Bersangul (Pileh Amat)

motif ini menggambarkan bahwa rusa adalah binatang disekitar masyarakat sehingga penting untuk dilindungi. Sama seperti motif lainnya, pembuatannya dilakukan dengan melakukan ritual adat terlebih dahulu dengan sesaji tempayan kecil, ayam, uang dan lain sebagainya disesuaikan dengan kebutuhan motif.

Motif Pelangka (Kebat)

digunakan untuk menyimpan sesajian.

Ribai dan Naga (Kebat)

ribai dan naga adalah bersaudara yang diyakini sebagai orang kayangan. Dalam proses pembuatannya, dilakukan dengan ritual besar pula terlebih dahulu. Dahulu, menurut kepercayaan masyarakat, keduanya memiliki tiga saudara yaitu Ribai, Naga dan Apai Kabet Berkait berkelahi disebabkan oleh buah rambutan , akhirnya Ribai kembali ke lautan, Naga tetap di kayangan dan Apai Sabet Kalai pindah ke langit dan belum pernah bertemu kembali hingga saat ini.

Motif Aji Sumping (Kebat)

digunakan sebagai tanda bahwa diwilayah tertentu masih ada binatang.

Lintah (Pileh Selam)

digunakan sebagai tanda bahwa masih ada binatang lintah disekitar masyarakat.

Burung (Sungkit) 

mengingatkan bahwa burung adalah binatang yang dihormati. Motif ini digunakan sebagai tanda bahwa masyarakat masih menghormati keberadaan burung di Sungai Utik

Lang Menari (Kebat)

mengingatkan bahwa diudara masih ada burung elang. Masih ada beragam burung diudara pada wilayah Sungai Utik.

Alat Tenun Tradisional Dayak Iban Sungai Utik

Adapun alat tenun tradisional Dayak Iban Sungai Utik terdiri atas:

Pangkal Pasang Benang

Sebelia (untuk merapikan dan membuka dan merapikan benang)

Lintang (untuk menyimpan benang)

Lidi (untuk membatasi jumlah benang saat di ikat)

Tendai (untuk membentang benang)

Lebungan (untuk pembagian turun naik benang)

Demikianlah beberapa hal menarik tentang tenun tradisional masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Konsistensinya dalam melestarikan tradisi dan budaya dengan mengedepankan kearifan lokal adalah praktik baik yang harus menjadi contoh bagi kita bersama, hari ini, esok dan seterusnya.

Salam Budaya, Lestarikan !

Tidak ada komentar