Makam Juang Mandor |
Mandor, 28 Juni 1944. Hari yang sangat menyakitkan bagi seluruh rakyat Kalimantan Barat. Puncak terjadinya peristiwa kelam yang tidak boleh terjadi lagi. Penculikan dan pembantaian ribuan orang oleh bangsa Jepang. Pada 19 Desember 1941 Pontianak kedatangan seumlah pasukan tentara Jepang. Saat sedang melaksanakan sholat Jumat, rakyat Pontianak merasakan dentuman bom dari atas langit. Bom tersebut dimuntahkan dari pesawat bomber milik Jepang. Sasaran awal tentara Jepang adalah tangsi-tangsi pasukan KNIL di Pontianak, namun ternyata mereka salah sasaran.
Bom-bom tersebut berhasil menghantam sekolah, pasar, dan rumah-rumah penduduk. Peristiwa tersebut dinamakan Peristiwa Kapal Terbang Sembilan, karena pada saat itu ada 9 pesawat bomber yang digunakan untuk pengeboman. Peristiwa tersebut terjadi kembali pada 22 Desember 1941 dan tentunya memakan banyak korban.
Pasukan tentara Jepang datang kembali ke Pontianak pada 2 Februari 1942 membuat pasukan KNIL kabur ke daerah pedalaman. Warga lokal menerima kedatangan Jepang dengan baik, mereka disebut sebagai saudara tua karena sesama bangsa Asia. Jepang dianggap sebagai pembebas rakyat dari penjajahan Belanda. Para Sultan tunduk kepada Jepang, Bendera Hinomaru dikibarkan di beberapa tempat termasuk di depan istana kesultanan. Pada saat itu ada 12 kerajaan di Kalimantan Barat, yaitu Kesultanan Pontianak, Kesultanan Mempawah, Kesultanan Sambas, Kerajaan Ketapang, Kerajaan Landak, Kerajaan Sukadana, Kerajaan Simpang, Kesultanan Sanggau, Kerajaan Tayan, Kesultanan Sekadau, Kerajaan Sintang, dan Kerajaan Kubu.
Jepang merekrut para pemuda bergabung ke organisasi militer dan semi-militer, anak-anak wajib bersekolah dan belajar gaya Jepang. Jepang juga menebarkan janji kemerdekaan Indonesia. Namun, semakin lama rakyat merasa hidup mereka semakin sulit. Banyak kewajiban-kewajiban yang ditetapkan pemerintah militer Jepang yang sangat memberatkan, sembako sulit didapatkan dan harganya sangat mahal, Jepang menutup jalur pengiriman barang dari pulau lain, harta benda rakyat dirampas, mereka dipaksa bekerja, disiksa, kelaparan, hingga tidak punya pakaian. Hidup kaum wanita bak tinggal di neraka, Jepang membentuk rumah bordil untuk mengumpulkan wanita-wanita penghibur.
Pada saat itu ada 5 dokter di Kalimantan Barat, salah satunya adalah dr. Rubini Natawisastra. Saat melakukan praktek, beliau sering mendapatkan pasien korban penganiayaan dan pemerkosaan, pasien-pasien berdatangan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Beliau juga menjalankan misi kemanusiaan dengan menjadi dokter keliling melayani pengobatan di daerah terpencil dan pedalaman. Untuk menghargai jasa beliau, dr. Rubini Natawisastra diresmikan sebagai pahlawan nasional pada 7 November 2022.
Pada April 1942, Sultan Syarif Muhammad Al-Kadri mengundang seluruh Sultan dan Panembahan di seluruh Kalimantan Barat ke Keraton Kadriyah untuk membicarakan kondisi Kalimantan Barat pada saat itu. Jepang mendirikan organisasi politik bernama Nissinkai, salah satu anggotanya adalah Sultan Syarif Al-Kadri. Kelompok para Sultan dan Panembahan membuat suatu gerakan bernama Gerakan Enam Sembilan karena kelompok tersebut beranggotakan 69 orang, mereka berencana untuk melawan Jepang dan mengakhiri penderitaan rakyat. Perlawanan pertama terjadi di Kalimantan Selatan, hal tersebut membuat Jepang marah dan menghukum mati 25 pemimpin perlawanan tersebut.
Jepang melakukan pencegahan agar tidak terjadi perlawanan di Kalimantan Barat. Mulai dari 23 Oktober 1943, penguasa swapraja, kaum cendikiawan, dan tokoh masyarakat ditangkap oleh pasukan Jepang. Puncaknya pada 28 Juni 1944, korban dibawa ke pedalaman, hutan belantara di daerah Mandor, Kabupaten Landak. Para korban dipancung menggunakan pedang Katana yang dimana kepala mereka ditutup terlebih dahulu dengan sebuah kain. Sebagai bukti, banyak ditemukan sisa Katana yang rusak dan patah di sekitar lokasi pemancungan. Lahan kecil ditengah hutan diyakini sebagai lokasi pemancungan korban karena saking banyaknya darah yang mengucur di lahan tersebut, tidak ada pohon-pohon besar yang tumbuh di lahan tersebut.
1 Juli 1944 koran Borneo Sinbun mewartakan dalam judul besarnya “Komplotan Besar yang Mendurhaka untuk Melawan Dai Nippon Sudah Dibongkar Sampai ke Akar-akarnya.” Jepang mengumumkan bahwa mereka telah melakukan aksi penangkapan dan menghukum mati orang-orang yang diduga berkomplot melawan Jepang dari tanggal 23 Oktober 1943 hingga 28 Juni 1944. Kabar tersebut sangat mengejutkan warga Kalimantan Barat. Akhirnya kegelisahan mereka terhadap keluarga yang dijemput Jepang secara tiba-tiba sudah terjawab. Selama kurang lebih 8 bulan mereka tidak tahu kabar orang-orang yang dibawa Jepang, untuk apa mereka dibawa, dan kapan mereka akan pulang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya terjawab oleh berita dari Borneo Sinbun dengan jawaban yang sangat menyakitkan.
Pada 6 dan 9 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Kota Hirosima dan Nagasaki, Jepang, peristiwa tersebut mengakibatkan ratusan ribu orang tewas dan efek radiasi yang bertahan selama bertahun-tahun. Jepang pun menyerah kepada sekutu, mereka kembali ke negerinya dan berakhirlah penjajahan Jepang di Indonesia. Pada tahun 1977 dibangunlah Makam Juang Mandor sebagai bentuk penghargaan dan untuk menghargai jasa para pejuang Kalimantan Barat. Pada 28 Juni 1977 Makam Juang Mandor diresmikan. Pemerintah provinsi Kalimantan Barat meyakini secara resmi sebanyak 21.037 jiwa menjadi korban pembantaian Jepang.
Di Makam Juang Mandor terdapat 10 makam dimana makam ke 1 sampai 9 adalah makam rakyat biasa dari berbagai kalangan dan etnis di Kalimantan Barat, sedangkan makam ke 10 diyakini sebagai makam para Raja dan Panembahan di Kalimantan Barat. Lantai di dalam makam ke 10 sudah dilapisi oleh keramik dan dibuat gerbang, di dalam terdapat foto-foto beberapa korban peristiwa mandor, seperti Syarif Muhammad Al-Qadri, Pangeran Adipati, Syarif Abdul Mutalib, Pangeran Agung, Syarifah Maimunah Al-Qadrie, Syarif Umar Al-Qadrie, Syarif Usman bin Syarif Mahmud, Yusuf bin Abu Bakar Al-Qadrie, Syarif Hamid bin Syarif Abu Bakar Al-Qadrie, Gusti Saunan, Syarif Achmad bin Syarif Mahmud Al-Qadrie, Gusti Abdul Hamid, Raden Abd Bahry Daru Perdana, Muhammad Taufik, M. Ibrahim Tsafiudin, Panembahan Gusti Roem, Ni. R Amalia, dr. Rubini Natawisastra, Urai Abdul Hamid, Ade Muhammad Ari, Syarif Shaleh bin Syarif Idrus, Barita Oeli Hutagalung, Habib Rachmat bin Rono Kusumo, Gipin Napitupulu, Mohammad bin H. Dahlan, Sawon Wongso Atmodjo, Muhammad Yatim, Hj. Saleha, Amat Dogom Siregar, Abdoel Kadir bin H. Tohir, Karel Tambunan, Urai Aliudin, Parangian, Nurlela, Gusti Muhammad Kelip, dan Ya’h Sabran bin Ya’ Ali.
Juru kunci Makam Juang Mandor yang pertama adalah Abdus Samad bin Ahmad, selanjutnya diserahkan kepada Pak Ucak. Beliau sebenarnya adalah seorang perawat di Jawa, namun ditugaskan di Kalimantan. Beliau menyampaikan ada 4 tahap penangkapan korban mandor, yaitu tahap pertama : Raja dan Panembahan di Kalimantan Barat, tahap kedua : tokoh-tokoh agama (Ustad, Pendeta, Pastor), tahap ketiga : tokoh masyarakat yang pintar, dan yang terakhir adalah tokoh ekonomi yang kaya (rata-rata orang Tionghoa). Beliau juga menceritakan bahwa pada saat peresmian makam juang mandor, 1 perempuan dan 1 laki-laki jasadnya masih utuh dan seperti baru pada saat digali.
Peristiwa Mandor Berdarah merupakan bukti perjuangan rakyat Kalimantan Barat agar terlepas dari penjajahan. Entah berapa banyak tangisan, jeritan, dan tetesan darah yang keluar dari para korban. Generasi penerus bangsa harus tetap melanjutkan perjuangan para pendahulu dengan mempertahankan NKRI agar tidak dijajah oleh bangsa lain. Peristiwa ini mengajarkan kepada kita semua agar tidak menerima janji manis dari mulut orang lain. Kita semua senantiasa berterima kasih dan berdoa agar para pejuang hidup tenang di alam sana. Dengan dibangunnya Makam Juang Mandor, generasi muda dapat berkunjung ke sana dan mempelajari tentang penjajahan Jepang di Indonesia khusunya di Kalimantan Barat. Peristiwa ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi kita semua untuk mengenang sejarah, mengenang perjuangan, dan mengenang para pendahulu kita yang telah berjuang untuk Indonesia.
Sebagai bentuk penghormatan kepada para pejuang, setiap tanggal 28 Juni diperingati sebagai hari Berkabung Daerah Kalimantan Barat. Seluruh instansi di Kalimantan Barat akan menaikkan bendera setengah tiang, dilaksanakan upacara ziarah dan tabur bunga di Makam Juang Mandor.
“Tidak cukup sekedar anda kenang tapi kuharap anda teruskan semangat juangmu untuk memerangi segala bentuk penjajahan.”
Penulis: Jessi Claresta, Siswi SMAN
1 Pontianak
Artikel Hasil Observasi Lawatan Sejarah ke Makam Juang Mandor
Sumber
https://id.wikipedia.org/wiki/Makam_Juang_Mandor
https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Mandor
https://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Kerajaan_di_Kalimantan_Barat
Tidak ada komentar