Refleksi Kebebasan Sipil Masyarakat Kalbar Melalui Diskusi 25 Tahun Reformasi



Reformasi menjadi titik balik dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia. Peristiwa yang terjadi pada 21 Mei 1998 lalu ini ditandai dengan lengsernya kekuasaan Soeharto dan juga Orde Baru nya karena dianggap otoriter dan gagal menjalankan sistem pemerintahan seperti yang diharapkan rakyat. Walaupun telah berusia 25 tahun, namun reformasi belum saja menunjukkan keberhasilan dari berbagai hal sesuai awal tuntutannya dahulu. 

Hal ini turut dibuktikan dengan maraknya korupsi, kolusi, nepotisme serta lemahnya penegakan hukum serta oligarki yang muncul pada pemerintahan dampak dari terselenggaranya pilkada.  Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) dan Perkumpulan Pemuda Satu Dalam Perbedaan (SADAP) Indonesia menyelenggarakan diskusi publik dalam rangka memperingati 25 tahun Reformasi. Adapun tema dalam diskusi ini ialah 25 Tahun Reformasi dan Kebebasan Sipil di Kalimantan Barat. Dilaksanakan di Heim Coffe, JL. Dr. Sutomo Pontianak. Kamis, (25/5/23) siang.  

Drs. Hermanus, M.Si, Kepala Kesbagpol Kalbar memberikan apresiasi terhadap penyelenggara diskusi publik yang diselenggarakan karena menurutnya menjadi sarana membangun ingatan khususnya tentang peristiwa proklamasi. Dalam pemaparannya, ia menjelaskan tidak hanya dalam konteks kebebasan sipil, ia juga turut membahas kebijakan macro yang menjadi capaian pemerintah daerah Kalbar hingga reformasi kini.   

Menurutnya pula, berdasarkan dari sejarah panjang kehidupan berbangsa, ada yang namanya pasang surut. Apa yang sudah diamantkan dalam Alinea keempat UUD menjadi hakikat bernegara. Dalam perjalannya banyak riak dan permasalahan sehingga bergantilah kepemimpinan dan juga terjadi masalah-masalah yang besar pula pada masa yang dikenal dengan orde baru.  

Ia menjelaskan turut mengalami era tuntutan turunnya Soeharto. Menjalani kondisi yang memprihatinkan dan menyebabkan jatuhnya Soeharto yang didesak dan digantikan oleh Habibie sehingga masuklah pada era reformasi. Ketika dibuka keran atau dalam esensi otonomi daerah yang seluas-luasnya memberikan keleluasaan daerah untuk berekspresi dan membentuk daerah otonomi baru hingga kini telah ada 38 provinsi di Indonesia.  

Ia menambahkan, melihat segala hal yang terjadi, pemerintah terus melakukan perbaikan-perbaikan. Dalam konteks Kalbar, pemerintah Kalbar sebagai pemerinahan yang ada di Indonesia terus melakukan hal yang sejalan dengan pemerintah pusat guna terjadi pembangunan yang linier atau sejalan. Contohnya dalam hal pencegahan atau penanganan angka stunting serta berbagai program pusat yang harus selalu didukung seperti halnya dalam hal infrastuktur, SDM, tata Kelola yang lebih.  

“Jika berbicara 25 tahun dalam perjalanannya sudah banyak program dan kebijakan yang dibuat sesuai dengan pemerintah pusat. Misalnya dalam indeks pembangunan manusia dari tahun ke tahun,” ujarnya.  

“Capaian-capaian yang ada dalam rangka menjawab dan memaknai reformasi yang kini usianya sudah 25 tahun ini,” tambahnya.   

Faisal Riza, SH.M.H. yang merupakan Aktivis 1998 dan saat ini menjabat sebagai komisioner Bawaslu Kalbar juga turut menyampaikan perspektifnya. Ia menceritakan, pada tahun 1998 saat ia semester sepuluh dalam lingkup perkuliahan, ketertarikannya pada dunia aktivis membuat ia kerap turun kejalan terlebih saat terjadinya krisis monoter. 

Pada tahun 1997 atau satu tahun sebelumnya, saat pelaksanaan pemilu era Soeharto dan adanya pernyataan dari kroninya yang menyatakan tentang masih perlunya Soeharto untuk menjabat membuat masyarakat geram. Hal ini membuat gelombang aksi karena ketidakpuasan terhadap pemerintah yang dianggap tidak dapat mengatasi permasalahan politik dan ekonomi. Terlebih, ekonomi dikuasai oleh segelintir orang dan berasal dari pondasi yang rapuh karena tidak berasal dari kekuatan local sehingga ketimpangan tetep terjadi dan begitu tampak.  Dimasanya menjadi aktivis dulu, ada anggapan bahwa mengkritik pemerintah adalah beridiologi kiri (PKI). 

Hal ini dikapitalisasi sehingga membatasi kebebasan publik. Saat itu pula, ada Dwi Fungsi ABRI yang menjadi alat kekuasaan Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan karena membuat apparat memiliki suara dalam parlemen. Segala macam hal yang dianggap mengkritik pemerintah dianggap sebagai musuh dari pemerintah.   

“kekuasaan menghasilkan monotik, berbeda dari negara tidak boleh sehingga antar sesama menghadirkan kecurigaan. Kedamaian yang semu, seseorang yang memiliki perbedaan dilihat dengan penuh kecurigaan,” ujarnya.  

“Ekonomi, politik, kohesi sosial, solidaritas sosial diciptakan dengan terror oleh negara. Bukan berangkat dari kesadaran warga negara dalam menghargai perbedaan. Oleh karenanya, saat reformasi terjadi ledakan dan masalah sosial karena situasi penuh tekanan,” tambahnya.  

“Reflesi 25 tahun reformasi menunjukkan bahwa kita masih stagnan, adapula yang mengatakan bahwa mengalami penurunan. Yang saya rasakan reformasi hanya menghasilkan dua yaitu kebebasan pers dan otonomi daerah,” tutupnya.  

Sementara itu, Ivan Wagner, Akademisi UPB dan Kepala LBH Kalbar menyoroti bahwa hingga 25 tahun reformasi kini, tak hanya pencapaian yang harusnya disorot namun juga secara fakta tak semua reformasi yang dituntutkan dan diperjuangkan sejak 25 tahun lalu belum semua teraksana. Dalam lain sisi, pemerintah sendiri bahkan yang menjadi penghambat dari jalannya demokrasi itu sendiri.

Tidak ada komentar