Pulang - Cerita Pendek

Cerita Pendek - Pulang

Bagiku, rumah hanya sebuah bangunan. Nyaman dan aman sebenarnya hanya ilusi, keluarga bahagia hanya tertuju untuk manusia-manusia beruntung di dunia. Rumah bagiku tidak pernah membuatku benar-benar menjadi tempat untuk pulang. Tidak ada sambutan, tidak ada selamat pagi dan selamat malam, tidak ada hati-hati di jalan, dan tidak ada cerita tentang hari ini. Yang ada hanya pekik ayah dan ibu yang naik pitam merajai seluruh ruangan.

“Kak, ibu menangis lagi,” ucap adik Bella yang baru saja memasuki kamar kakaknya itu tanpa mengetuk pintu sekalipun. Bella sudah tidak terkejut lagi saat ibunya menangis, karena sebab apalagi jika bukan karena ayah yang selalu saja pulang larut malam menghamburkan harta-hartanya. Aku sudah tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang ada di dalam kepalaku sendiri. Bahkan aku sudah tidak berani bermohon pada harapan-harapan baik sebab aku saja tidak pernah tau hal baik itu berupa apa dan bagaimana bentuknya. Benarkah hal-hal baik menenangkan seperti yang orang-orang bicarakan? Atau malah selama ini hal baiklah yang sedang aku terpa.

“Kamu tidur saja, Bil.” Bella sudah tidak perlu meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja pada adiknya itu. Menurutnya, Bila, adik perempuan satu-satunya itu pasti sudah mengerti sebab ini bukan yang pertama kalinya ibu menangis usai beradu mulut dengan ayah.

“Kak Sya belum pulang?”

“Belum, Bil. Kamu tidur aja.”

Bu, kalau hidupku terasa berat kepada siapa aku jatuh dalam pelukan? Kalau dunia tidak memperlakukanku dengan baik kepada pundak siapa kepalaku terjatuh? Bagaimana mampu aku menceritakan segala luka apabila yang kau pendam saja seluruh lara. Belum sempat berbicara sepatah kata malah aku yang pilu melihatmu berduka. Bella sudah tidak tau harus berbuat apa. Harus menenangkan ibunya dengan cara apa. Apakah suasana hatinya akan baik jika kubawa keliling dunia? Bu, ke Paris, yuk? Orang bilang kota romantis cocok untuk berbaikan dengan orang terkasih. Atau mau ke Banda Neira saja? Disana menenangkan. Kalau bisa membawamu kabur dari ayah ke planet manapun akan ku bawa. Tapi kalau mau jalan-jalan di Jogja juga enggak apa-apa. Jogja enggak menyenangkan lagi sejak ibu memutuskan untuk dilanda kesedihan. Keluarga ini mati, Bu.

Seperti biasanya, Bella bangun pagi tanpa berharap apa-apa pada hari ini. Ia bergegas bersiap menuju kampus tanpa berpamit pada siapapun. Sesampai di kampus ia langsung menghampiri Rizki, sahabat Bella sedari kecil. Mereka bersahabatan karena dulu jarak rumah mereka yang dekat. 

Namun semenjak SMA, keluarga Rizki pindah tapi itu bukan berarti Bella kehilangan sahabat baiknya. Bella menceritakan segala keluh kesahnya hanya pada Rizki. Bagi Bella, satu-satunya hal yang harus ia jaga agar tidak hilang selain dirinya sendiri adalah Rizki. Sebab dengan Rizki, segala topik dan perlakuan-perlakuan aneh sudah bukan hal yang langka. Heran. Manusia aneh. Mau saja menjadi gila dan aneh denganku. Maaf, ki. Harus melibatkanmu dalam kehidupanku yang hampir hancur, yang hampir tak ada lagi sumber kebahagiaanya.

 “Ki, rumah kacau lagi.”

 “Kenapa? Ayah minum-minum lagi, ya?”

“Iya. Aneh. Aku udah engga nangis-nangis lagi ceritain ini ke kamu.”

“Semuanya sembuh dan terbiasa karena waktu, Bel.”

 “Bahkan mungkin aku ga bakalan kaget kalau ibu sama ayah pisah hari ini juga.”

“Kecuali hatinya sendiri? itu yang harusnya satu-satunya dia jaga dari sejak pertama kali membiarkan ayah masuk ke dalam hidupnya, Ki.”

 “Dia lebih memilih isak tangis demi bertahan daripada hancur lara menyesali apa yang tak sempat ia pertahankan.”

 “Sebentar lagi juga perang dunia dirumah,” ucap Bella.

“Bahkan perang dunia 1 cuman berlangsung 4 tahun, Ki. Rumahku kayanya sudah berperang sejak 6 tahun lalu.” Bella melanjutkan kalimatnya. Rizki tertawa.

“Bel, korban jiwa perang dunia 1 mencapai 20 juta jiwa. Di rumahmu enggak ada yang mati.” Rizki masih tertawa. Perempuan aneh di depannya ini selalu saja mempunyai topik yang menarik untuk dibahas.

“Atau mungkin perangnya belum dimulai. Kalau perang dunia 1 dipicu oleh pewaris mahkota Austria-Hongaria, Archduke Franz Ferdinand dan istrinya y5ng dibunuh sama Gavrilo Princip, perang dunia di rumah mungkin dipicu oleh aku yang dibunuh sama ekspektasiku sendiri.”

“Hahaha ada-ada aja deh. Kalau benaran perang dunia 1 diibaratkan dengan kondisi rumahmu. Mungkin kamu, kakakmu sama ibumu jadi blok sentralnya. Jerman, Austria-Hongaria, dan Turki kayanya cocok banget.” Bella menatap Rizki tajam sambil menahan tawa. Mana mungkin seorang Bella mau menjadi pihak yang harus menerima kekalahan. Tentu saja ia ingin menjadi aliansi sekutu yang terdiri dari Perancis, Inggris, Rusia, Italia, Jepang, dan AS.

 “Hidupku udah terlalu sedih kalau harus disuruh kalah.” Aku memang sudah muak perihal bersaing. Kebahagiaan padahal cukup sama-sama, berdampingan, enggak usah jadi yang paling. Semuanya juga udah ada porsinya masing-masing. Daripada pelik, mending peluk. Lagian harusnya perang dunia 1 enggak bisa di sama-samain sama perang dingin di rumahku. Perang dunia 1 memperebutkan wilayah dan SDA, sedang aku dan saudaraku hanya memohon peduli dan cinta.

“Bel, kau harus bicara pada ayah, adik, kakak, dan ibumu. Sudah saatnya menjadi berani dan menjadi pahlawan super.”

“Kalau aku menjadi pahlawan super yang sering kali kau idam-idamkan itu memiliki akhir bahagia, sejak dulu sudah kulakukan.”

“Kamu belum coba, Bel. Belum sama sekali.” Aku tak menanggapi Rizki. Sudahlah, mungkin aku belum siap jika disuruh menyelamatkan hati semua orang sementara hatiku sendiri babak belur butuh pertolongan walau aku tau, hanya aku yang bisa menyelamatkan diriku sendiri.

Waktu tak terasa begitu cepat berlalu, tak banyak yang Bella lakukan. Setelah selesai kuliah ia hanya ke perpustakaan kemudian minum secangkir kopi di kedai yang biasa ia kunjungi. Ia tak pernah ingin cepat-cepat pulang jadi ia menghabiskan waktunya dengan mengerjakan tugas dan membaca novel.

Waktu menunjukan pukul 23.08, Bella memutuskan untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ia melihat kondisi rumah yang tidak seperti biasanya. Vas bunga yang pecah, taplak meja dan bantal-bantal kursi sofa yang berserakan, bingkai foto yang miring dan banyak barang-barang yang tidak berada di tempat seharusnya. Suara ayah dan ibu masih bersahut-sahutan terdengar dari dalam kamar. 

Untuk pertama kalinya aku melihat ibu berusaha, berusaha untuk pisah. Kalimatnya benar-benar terdengar pasrah. Mungkin, sebenarnya perang dunia ke 2 yang lebih cocok diibaratkan dengan ibu dan ayah. Sama-sama berlangsung 6 tahun. Yang berbeda hanya perang dunia kedua berlangsung pada tahun 1939-1945 sedangkan perang dirumahku terjadi pada 2015-2021. Tapi sebenarnya perang dunia kedua tidak pernah benar-benar bisa diibaratkan. Tentu konteksnya juga beda. 

Perang dunia kedua yang dipicu oleh invasi Nazi Jerman ke Polandia, Kubu I adalah Blok Poros yang merupakan Jerman, Jepang dan Italia sedangkan Kubu II adalah Blok Sekutu yaitu Prancis, Inggris, AS, Uni Soviet, dan China, perang dunia adalah perang antar ideologi yang menewaskan 60 juta jiwa sudah pasti tidak ada kaitannya dengan masalah dirumah.

Mungkin Rizki ada benarnya, aku harus menyelamatkan apa yang masih bisa kuselamatkan. Keesokan paginya, Bella bangun pagi sekali, merapikan meja dan menyiapkan sarapan untuk semua orang. Bella mengumpulkan semua keluarganya. Di atas meja, semua orang canggung dan membisu. Bella membuka obrolan dengan sangat hati-hati agar tidak menyakiti perasaan ibunya.

“Apakah kehidupan seperti ini yang sebenarnya kita semua inginkan?”

“Benarkah kalian semua senang dengan keadaan yang rasanya sudah seperti dunia rusak?” lanjut Bella. Semua orang masih terdiam. Ayah terlihat benar-benar terpukul dengan kalimat yang diucapkan Bella. Tak ada yang menyahut. Tak ada yang mau berbicara. Mereka semua hanya menghabiskan makanannya masing-masing lalu pergi.

Sepanjang hari terlewatkan seperti biasanya, Bella dan kakaknya pulang lebih awal. Ibu dan Bila sedang duduk di ruang tengah yang entah kapan terakhir kali sofa itu digunakan sesuai dengan kegunaannya. Bella dan Kak Sya juga ikut mengobrol. Ibu meminta maaf perihal apa yang sudah ia lakukan kepada anak-anaknya. Ia bercerita tentang bagaimana perasaan dan hatinya. Ayah pulang lebih awal. Ikut mengobrol dan meminta maaf. Kami semua menangis. Tangisan yang benar-benar jujur tercipta. 

Tangisan yang sudah lama dirindukan. Harusnya, sejak lama aku mencoba menyelamatkan semua hati orang. Ternyata, menyelamatkan hati orang juga termasuk misi penyelamatan hati sendiri. Sekarang, tidak ada ibarat perang dunia 1 dan 2 yang begitu tragis di keluarga ini. Untuk pertama kalinya, aku percaya akhir bahagia yang diharapkan semua orang, nyata adanya. Walaupun tak selamanya bahagia, setidaknya hari-hari terburuk dan terpuruk sudah terlewatkan. Keluargaku yang tadinya beku sudah meleleh dan menghangat. Rumah sudah menjadi tempat untuk pulang dan terasa seperti benar-benar rumah.

Ditulis oleh : Mutia Khansa (XI IPS 1) SMAN 1 Pontianak

Proyek MID Semester Sejarah Minat Materi PD 1 dan PD 2

Tidak ada komentar